Penulis Adalah AlumnUS Magister Ilmu Pemerintahan Unila
TANGGAL 21 Februari adalah Hari Peduli Sampah. Tantangan terbesar dalam penanganan sampah adalah membangun perilaku masyarakat peduli sampah, dibandingkan menghadapi sampah dipembuangan.
Kondisi sampah terutama perkotaaan mengalami banyak persoalan, mulai dari sampah di pembuangan sampai dengan membangun perilaku masyarakat yang tidak perduli terhadap sampah. Oleh sebab itu, persoalan sampah ini akan terselesaikan jika ditangani persoalannya mulai dari dihasilkan sampah sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Produksi sampah Kota Bandar Lampung 2019 diperkirakan telah mencapai 1.000 ton perhari. Sebagian besar sumber sampah kota Bandar Lampung berasal dari rumah tangga, pasar tradisional, kawasan komersial, jalan, kantor, sekolah dan lainnya.
Komposisi tebesar berupa sampah organik, lalu plastik, kertas, logam, kain dan lainnya. Di antaranya sekian banyak sampah-sampah tersebut dibuang ke laut.
Menariknya beberapa waktu yang lalu Kota Bandar Lampung mendapatkan penilaian oleh tim Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan sebagai salah satu dari tiga kota besar terkotor di Indonesia termasuk kota Manado dan Sumatera Utara.
Namun penilaian itu dibantah keras oleh Wali Kota Herman HN. Objektifkah penilaian tim itu? Mari kita cermati beberapa kriteria penilaian yang dilakukan tim Kementerian dan kondisi penanganan sampah di Bandar Lampung.
Penilaian tersebut mencakup antara lain penilaian fisik dan tempat pemrosesan akhir (TPA). Kota-kota terkotor tersebut mendapatkan nilai yang jelek karena membuang sampah terbuka serta ada yang belum membuat kebijakan dan strategi tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga.
Selain itu juga bisa jadi faktor komitmen pemerintah kota yang kurang, anggaran yang minim, serta publikasi yang sedikit. Sedangkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah telah mengamanatkan bahwa tempat pemrosesan akhir (TPA) menggunakan sistem lahan urug saniter (sanitary landfill) atau sekurang-kurangnya sistem lahan urug terkendali (controlled landfill). UU Pengelolaan sampah tersebut juga menjelaskan pentingnya kegiatan 3R (Re-use, Reduce, & Recycle) agar volume sampah tidak terus bertambah.
Mari kita cermati secara objektif penilaian yang dilakukan oleh Kementerian dengan melihat fakta pengelolaan sampah di Bandar Lampung agar predikat kota terkotor tersebut terbukti sebagai kebenaran atau manipulasi.
Pertama, dari aspek perencanaan, secara perencanaan kota Bandar Lampung telah menyusun masterplan persampahan dalam rangka menangani persoalan sampah sejak 2012 yang lalu.
Masterplan ini juga telah ditindak lanjuti DPRD dan pemerintah kota dengan lahirnya perda no 5 tahun 2015 tentang pengelolaan sampah kota Bandar Lampung.
Artinya, secara perencanaan upaya pemerintah kota menangani persampahan telah dilakukan.
Kedua, komitmen pemerintah, Sejak master plan dan perda ini ini selesai sampai tahun 2019 secara kebijakan, program, proyek dan dukungan anggaran penanganan sampah ini sangatlah minim. Namun dalam sisi komitmen mengangkut sampah upaya pemerintah Kota Bandar Lampung nampaknya tidak bisa kita pungkiri telah dilakukan dengan segala keterbatasan.
Masing-masing perangkat pemerintah telah berupaya untuk memindahkan sampah yang ada secepat dan seoptimal mungkin. Akan tetapi sebagai kota besar cukupkah penanganan tersebut?
Hal ini coba kita cermati didalam tahapan perencanaan dan kebijakan penanggulan sampah mulai dari rumah tangga sampai penanganan di tempat pembuangan akhir yang tertuang di dalam master plan dan Perda.
Begitu pula terlihat dalam setiap tahun dukungan APBD selama 5 tahun terakhir program-program penanganan sampah secara kontinyu tidak dilakukan dan sekedarnya.
Kesimpulannya, Pemerintah kota Bandar Lampung gagal dalam komitmen mengurangi target sampah. Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan kebersihan pun masih lambat.
Upaya dukungan LSM dan anggran pemerintah dalam program bank sampah pun tidak berkelanjutan dan ruang lingkup terbatas. Sarana dan prasana persampahan yang jauh dari ideal, peran serta masyarakat masih minim, serta tidak terjadinya kerja sama dengan daerah daerah tetangga. Selain itu akibat komitmen yang lemah terhadap penanggulangan sampah ini juga berdampak pada penerapan teknologi ramah lingkungan dan pengembangan infrastruktur pengelolaan sampah multisimpul.
Ketiga, peran masyarakat, munculnya kesadaran bersama di masyarakat bahwa pengelolaan sampah adalah tanggung jawab bersama nampaknya masih jauh api dari panggang.
Sinergitas antara pemerintah, perguruan tinggi dan swasta dalam melakukan inovasi dan terobosan dalam mengatasi sampah di daerahnya masing-masing juga nampaknya tidak terwujud.
Peran masyarakat memilah dan mendaur ulang sampah agar mampu mengurangi sampah rumah masih rendah. Padahal mestinya sampah bisa ditekan sampai 50% secara bertahap mulai dari tempat pembuangan sementara (TPS) hingga di tempat pembuangan akhir (TPA).
Edukasi bagi masyarakat untuk memilih dan memilah sampah dari rumah sangatlah minim. Pemerintah dapat membentuk tim pengolahan dan pendaur ulang sampah ditingkat lingkungan atau kelurahan. Dimana sampah organik diolah menjadi kompos, sampah organik habis di tingkat lokal, sehingga tidak ada yang terbuang.
Keeempat, prilaku birokrasi dan penegakan hukum, perubahan perilaku birokrasi dan masyarakat serta penegakan hukum yang tegas dan konsisten belum terwujud. Perda no 5 tahun 2015 telah memberikan aturan yang jelas tentang penegakan hukum namun pada tataran pelaksanaannya belumlah berjalan. Padahal hal ini adalah kunci untuk mengatasi sampah dengan tuntas.
Mestinya semua perangkat pemerintahan yang terkait harus menempatkan persoalan sampah menjadi masalah yang mesti diselesaikan bersama dan bersinergi sesuai tupoksi masing-masing.
Kelima, tempat pembuangan akhir, kondisi TPA bakung semakin mengkhawatirkan disebabkan Tidak berubahnya penanganan sampah yang tetap menggunakan konsep controlled landfill sedangkan lahan semakin terbatas. Padahal UU telah mengamanatkan bahwa tempat pemrosesan akhir (TPA) menggunakan sistem lahan urug saniter (sanitary landfill) atau sekurang-kurangnya sistem lahan urug terkendali (controlled landfill).
Besarnya kapasitas sampah per hari dan tidak terjadinya pengolahan di tingkat TPS semakin mempercepat habisnya lahan di TPA bakung. Upaya penambahan lahan pun tidak terjadi walaupun sudah sempat dianggarakan untuk memgantisipasi kebutuhan lahan tersebut.
Efek terhadap masyarakat sekitar pun semakin banyak seperti menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat, rawan longsor, mengancam keselamatan warga sekitar dsb. Upaya untuk penanganan di TPA bakung dengan bekerjasama pihak ketiga nampaknya baru sekedar wacana tanpa keseriusan. Hal ini terlihat dari beberapa kali pemaparan pihak ketiga tanpa follow up yang jelas.
Penilaian tim Kementerian Lingkungan hidup adalah cermin bagi penanganan sampah di kota besar kota Bandar Lampung. Terlepas apakah ada penilaian yang tidak objetif didalamnya.
Tanpa menafikkan kerja dan kondisi kota yang sudah lebih baik dari tahun ke tahun kita harus tetap berbenah menangani persoalan sampah dikota ini. Evaluasi proses perencanaan di master plan, lakukan revisi Perda jika diperlukan.
Setelah itu secara bersama-sama lakukan tahapan penanganan sampah dengan komitmen yang kuat dan menyeluruh. Maka selanjutnya Bandar Lampung akan menjadi kota Besar yang terbersih.
Pada akhirnya, kepedulian terhadap sampah adalah juga cermin kehidupan masyarakat, karena sampah yang kita buang tak bisa berbohong. Dari sampah tercermin sifat asli dan wajah peradaban kota tercinta. Tabik pun. []