Jakarta, Jejamo.com – Penguatan nilai tukar rupiah yang cukup tajam beberapa hari terahir dinilai sejumlah pengamat masih disebabkan faktor kondisi global. Sementara untuk Paket Kebijakan Ekonomi yang dilepas pemerintah masih terlalu kecil pengaruhnya.
Isu suku bunga The Fed di bank sentral Amerika Serikat masih menjadi penyebab utama menguatnya sejumlah mata uang asing dan rupiah terhadap dolar. “Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja AS masih di bawah ekspektasi untuk bulan September ini, sehingga The Fed sepertinya masih akan menunda kenaikan suku bunga,” kata analis pasar uang PT Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto, seperti dilansir Tempo.co, Kamis, 8/10/2015.
Kondisi ini menurut Rully mengakibatkan peningkatan harapan pasar kepada nilai rupiah, sehingga nilainya pun mengalami penguatan yang pada Kamis pagi sempat menyentuh Rp 13.821 per dolar AS.
Rully mengingatkan, penguatan ini bersifat sementara. Bukan tidak mungkin jika kondisi perekonomian Amerika Serikat membaik, maka nilai rupiah akan kembali tertekan.
Terkait paket kebijakan yang diluncurkan pemerintah terhadap penguatan rupiah, menurut Rully, belum terlalu signifikan dampaknya. “Peran respon positif paket kebijakan masih ada, tapi dominannya masih karena faktor global,” terangnya.
Sementara itu, Ekonom Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih, juga mengungkapkan hal yang serupa, kondisi global lebih besar pengaruhnya terhadap penguatan rupiah yang terjadi saat ini.
“Faktor eksternal lebih besar. Ditambah lagi dugaan saya, BI kemarin juga intervensi, karena penguatan rupiah yang paling tajam dibanding mata uang lain,” ujarnya.
Lana juga mengatakan kondisi ini masih bersifat sementara, karena faktor eksternal yang tidak bisa dikendalikan. Sehingga ia meminta pemerintah dan Bank Indonesia, tetap berhati-hati memegang kendali moneter.
Terkait paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah, Lana mengatakan masih membutuhkan waktu 3-6 bulan lagi agar dapat dirasakan dampaknya.
Menurut Lana, perusahaan baru akan berani melakukan investasi ketika kondisi perekonomian membaik. Terlebih saat ini tingkat daya beli masyarakat masih lemah.
“Paket jilid III kemarin memang membantu meningkatkan daya beli. Tapi dari sisi produsen, dengan harapan mereka menurunkan harga, ini yang benar-benar harus dipastikan turun oleh pemerintah,” kata ekonom Universitas Indonesia ini.(*)