Jejamo.com, Yogyakarta – Laki laki yang menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan perlu dikonseling sebelum dikembalikan ke masyarakat. Hal ini diperlukan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya kepad korban.
“Ada kasus di Jakarta, pelaku yang laporannya dicabut kembali mengulangi perbuatannya. Bahkan ada yang berakhir lebih fatal dibanding perbuatan (kekerasan) sebelumnya. Karena pelaku merasa dendam telah dilaporkan,” kata Inggrid Irawati Atmosukarto dari Rutgers WPF Indonesia, Minggu (30/9/2019) di Yogyakarta.
Padahal, kata Inggrid, ketentuan mengenai konseling kepada pelaku kekerasan terhadap perempuan ini sudah diatur dalam Pasal 50 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) No. 23 Tahun 2004.
Pasal tersebut menyebutkan, pelaku harus menjalani konseling dan pemulihan di bawah lembaga tertentu.
“Tetapi hal ini belum dilakukan. Padahal aturannya sudah ada. Seharusnya ini dilakukan. Sehingga ada penyadaran atas kekerasannya itu,” kata Inggrid.
Lebih lanjut dia menambahkan, hal ini adalah upaya untuk memanusiakan manusia. Karena pada hakikatnya, laki laki pelaku kekerasan terhadap perempuan juga dapat disebut sebagai korban dari tekanan norma berbasis gender.
“Laki laki pun rentan karena gendernya. Dalam konteks kelakian, laki laki dituntut harus macho, kasar, tangguh. Jika tidak memenuhi tuntutan itu, masyarakat akan memandang dia dengan nilai yang minus,” katanya.
Konseling ini pun sebagai upaya pelibatan laki laki dalam meminimalisir kekerasan terhadap perempuan. Untuk itu, lanjutnya, diperlukan sinergitas dari segala aspek, misalnya psikolog, kepolisian, lembaga masyarakat, hingga tokoh agama.