Jejamo.com, Bandar Lampung – Angka kasus kekerasan terhadap jurnalis di Lampung selama tahun 2018 sama dengan tahun sebelumnya. Kasus kekerasan yang dialami wartawan, mulai dari pelarangan meliput, pengusiran, kekerasan fisik dan verbal, hingga perampasan alat kerja.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung mencatat telah terjadi lima kasus kekerasan terhadap wartawan selama tahun 2018. Tahun lalu juga terjadi lima kasus dan mayoritas terduga pelaku adalah aparat kepolisian. Terduga pelaku kekerasan tahun ini didominasi oleh aparatur sipil negara atau ASN.
Ketua AJI Bandar Lampung Padli Ramdan mengatakan dari lima kasus kekerasan, empat kasus melibatkan ASN. Satu kasus lainnya diduga dilakukan oknum anggota TNI yang menghalangi jurnalis saat hendak melakukan konfirmasi kepada narasumber.
“Pengusiran, perampasan alat kerja wartawan, dan kekerasan fisik serta verbal diduga dilakukan ASN,” kata Padli dalam keterangan persnya hari ini.
Perampasan alat kerja wartawan diduga dilakukan oleh tenaga honorer di Pemkab
Pesawaran karena keberatan difoto ketika sedang duduk saat upacara bendera. Pengusiran diduga dilakukan salah satu kepala sekolah di Lampung Tengah dan kekerasan fisik diduga dilakukan camat di Lamteng. Kekerasan berupa memegang kerah baju wartawan sekaligus mengajak berkelahi.
AJI menyesalkan beberapa kasus kekerasan terhadap wartawan yang berakhir damai tanpa ada penanganan yang tegas terhadap pelaku. Seharusnya pelaku kekerasan diberi sanksi, misalnya peringatan keras hingga diproses hukum oleh pejabat di atasnya agar muncul efek jera.
Independensi Redaksi
Mengevaluasi peristiwa selama tahun 2018, AJI mengajak wartawan untuk melakukan evaluasi terkait penerapan kode etik jurnalistik dan profesionalisme.
Pasalnya beberapa kasus kekerasan terhadap wartawan dipicu oleh ketidakprofesional jurnalis. Misalnya membuat berita tidak berimbang dan tanpa upaya kerasa melakukan konfirmasi.
AJI Bandar Lampung, kata Padli, juga menyoroti praktik ganda yang dilakukan media terhadap para wartawannya.
Ada media cetak dan siber yang menugaskan wartawannya untuk melakukan penagihan uang iklan, advertorial, hingga langganan koran.
Pasalnya beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi saat mereka malakukan aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan bisnis media.
Bukan saat mereka melakukan aktivitas jurnalistik. Profesi wartawan menuntut kedisiplinan dan konsentrasi tinggi sehingga jurnalis kritis dengan isu-isu yang menjadi perhatian publik.
“Menugaskan wartawan di luar aktivitas jurnalistiknya, seperti menagih uang perusahaan, bertolakbelakang dengan prinsip firewall atau pagar api. Ruang redaksi harus dipisahkan dengan bisnis sehingga bisa mempertahankan independensinya dari berbagai kepentingan,” kata Padli.
Ketua AJI menambahkan independensi ruang redaksi harus dijaga sehingga produk jurnalistik yang dihasilkan media dipercaya publik.
Indepenensi adalah ruh jurnalisme agar pers bisa semakin meneguhkan keberadaannya sebagai penghasil informasi yang kredibel dan layak dipercaya kebenarannya.[]