Ramadan tinggal sehari. Jika tak ada aral melintang, besok, Jumat, 15 Juni 2018, kita memasuki Syawal. Lebaran Idul Fitri 1439 Hijriah. Banyak orang bilang Idul Fitri itu hari kemenangan.
Saya setuju dengan itu meski pada derajat yang tidak sama seperti para sahabat dan Nabi Muhammad pulang dari Perang Badar.
Secara manusiawi, wajar jika Idul Fitri disebut hari kemenangan. Menang dari apa? Menang dari hawa nafsu, menang dari menahan lisan dari perkataan tak bermakna, menang dari menahan mata dari pandangan tercela, menang dari menahan hati dari godaan setan yang tertutup. Indikator-indikator yang dikalahkan ini yang membuat kita percaya diri bahwa kita menang.
Menang dalam pertandingan sepak bola adalah saat gol yang kita bikin ke gawang lawan lebih banyak daripada gol yang bersarang ke gawang sendiri. Ukurannya jelas. Itulah menang.
Dalam konteks puasa, sebulan lamanya menjadi pribadi saleh, adalah sebuah kemenangan jika selama itu pula kita bisa menjalani sesuai dengan perintah Allah Swt.
Namun, jika selama durasi Ramadan itu pribadi kita tak lebih baik, kita tidak menang. Imbang pun mungkin tidak. Nauzubillah kalau sampai rugi.
Kalau dari ini lebih baik daripada kemarin, itulah manusia beruntung. Kalau hari ini sama saja dengan kemarin, itu rugi. Kalau hari ini lebih buruk ketimbang yang lalu, itu celaka. Kita ada di mana?
Apa makna dan esensi sebuah kemenangan? Jawabannya bergantung pada konteksnya.
Apakah menang itu tujuan akhir atau kemenangan itu hanya jalan untuk mengantarkan kita pada ujung misi hidup kita.
Dalam konteks puasa, menang itu karena kita sudah mampu menundukkan semua pancaindera kita ke arah yang lebih baik. Itulah esensi kemenangan. Jika merujuk pada Al Baqarah 183, takwa adalah ujung dari esensi kemenangan itu. Takwa bermakna menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam kontestasi politik, kemenangan menjadi awal untuk bekerja dalam ranah pemerintahan. Pilgub Lampung yang akan sama-sama kita ikuti 27 Juni mendatang, hasil akhirnya adalah kemenangan.
Siapa yang menang, dialah yang berhak memimpin provinsi ini selama lima tahun ke depan. Namun, esensi kemenangannya bukan di situ. Arti pentingnya justru pada apa yang akan dikerjakan jika kemenangan itu menghantarkan kami pada kursi kekuasaan?
Esensi kemenangan adalah saat kita mampu mengejawantahkan janji pada program yang terimplementasi di anggaran. Itulah esensi kemenangan. Jika usai menang malah mengkhianati janji selama kampanye, tentu hal yang tak kita inginkan.
Esensi kemenangan adalah mampu membuktikan kepada rakyat bahwa kami bisa, kami mampu, dan kami bisa dipercaya. Dan program yang diejawantahkan itu terskedul dalam program yang matang dan terukur.
Kami sudah berjanji. Dan kami komitmen dengan janji itu. Dan apa yang kami sampaikan selama ini, bukan angin surga atau sesuatu yang utopis. Kami ingin membumi. Bahwa mungkin ada yang menilai kami tidak demikian progresif, tentu cara panjangnya yang berbeda.
Kami tidak bisa bekerja demi sekadar citra, gimmick, dan sebagainya. Bukan tipikal kami jika mesti tersaruk-saruk masuk ke dalam got untuk memastikan jalur air di dalam kota lancar.
Kami juga bukan prototipe pemimpin yang membangun infrastruktur yang megalomania tapi nol besar dalam fungsi. Kami juga berpegang pada regulasi dan anggaran. Sebab, itulah yang mendasari kami bekerja.
Ya bekerja usai Allah Swt berkenan meridhoi kami didapuk lagi menjadi nakhoda dari rakyat provinsi ini.
Taqabbalallahu minna waminkum. Selamat Idul Fitri 1439 Hijriah. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat merayakan kemenangan. Tabik.(*)