Jejamo.com, Kota Metro – Pembangunan Taman Edukasi Metro yang beralamat di Jalan Gunung Lawu, Kelurahan Yosorejo dan Jalan Brokoli, Kelurahan Iringmulyo Metro Timur, diduga melanggar sejumlah regulasi. Ironisnya, hal tersebut justru memberikan contoh edukasi yang buruk dan dilakukan di tengah kota berjuluk Kota Pendidikan.
Dari hasil penelusuran Jejamo.com, kejanggalan ditemukan pada pembuatan beberapa bangunan di Taman Edukasi yang terkesan dibangun semaunya di atas saluran air, serta mengesampingkan kepentingan masyarakat hingga menimbulkan penyempitan aliran anak sungai Batanghari, sehingga kerap menyebabkan banjir di area sekitarnya saat musim hujan datang.
Tidak hanya itu, bahkan berkas perizinan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan, pun diduga telah melanggar regulasi mengenai tata ruang dan daerah aliran sungai (DAS), mulai dari analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), izin lingkungan, IMB, dan lainnya. Ditambah lagi, dari semua perizinan yang diajukan, alamat dan lokasi bangunan tidak sesuai.
Seluruh berkas pengajuan perizinan Taman Edukasi berada di Jalan Tiram RT 35 RW 09 Kelurahan Iringmulyo. Namun, nyatanya alamat tersebut tidak sesuai dan jaraknya cukup jauh dari lokasi Taman Edukasi berdiri.
Sayangnya, meski perizinan Taman Edukasi karut marut, Pemerintah Kota Metro melalui OPD terkait seolah terus melakukan pembelaan. Menurut Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) Kota Metro, Sri Mulyani, regulasi terkait didirikannya beberapa bangunan di atas aliran anak sungai yang membelah area Taman Edukasi tersebut, semula memang ada pelanggaran. Namun, setelah pihak Taman Edukasi melakukan renovasi, maka penataan ruang di sana sudah cukup dan sesuai dengan peraturan.
“Terkait dengan Permendagri No 116 tahun 2017, itu ada kriteria yang mana dia harus melakukan TKPRD (Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah). Jadi, dilaksanakanlah rapat TKPRD itu di Januari. Dari hasil rapat tersebut, terdapat poin yang paling penting, yaitu pembongkaran gazebo yang dibangun di atas tersier di kawasan Taman Edukasi itu,” kata Srimulyani.
Tak hanya itu, Yani juga mengatakan sesuatu yang sangat tidak rasional, bahwa menurutnya bangunan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA) adalah bukan termasuk jembatan, meski nyatanya terdapat suatu konstruksi dan berbagai material bangunan yang menjadi komposisinya.
Bahkan, tepat di samping jembatan yang berada di atas saluran air itu terdapat sebidang tanah berukuran lebih kurang 4 meter persegi yang diklaim sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH), yang dibangun demi kepentingan pribadi dan komersil, Srimulyani tidak mempersoalkan hal tersebut, meski jelas melanggar.
“Segala sesuatu yang dibangun di atas saluran DAS, demi kepentingan pribadi atau komersial, itu tidak boleh karena DAS atau sempadan, itu milik negara. Tapi karena saat ini kan kita pakai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019, tentang SDA, hanya bangunan yang tidak boleh di atas tersier atau sungai atau drainase. Tapi kalau jembatan, itu boleh. Jembatan itu bukan termasuk bangunan. Karena itu tidak disebutkan sama sekali,” ujarnya.
Bangunan yang di atas tersier itu hanya gazebo, lanjut Yani, taman di sisi jembatan tersebut difungsikan untuk RTH.
“Yang tidak boleh dilakukan di atas tersier itu hanya bangunan. Kalau dia bangun taman sebagai jembatan atau apalah, jembatan itu boleh ya berarti ya. Karena kalau membangun jembatan itu enggak boleh, berarti kan ekonomi kita kan menghilang. Kalau kita enggak boleh bangun jembatan di atas tersier, maka kan semuanya enggak boleh, jembatan-jembatan yang lain gimana,” tambahnya.
Sementara, dampak dari bagunan Taman Edukasi Metro sangat dirasakan sedikitnya 30 rumah di area tersebut. Saat musim hujan datang, masyarakat di Lingkungan 09 RT 35, harus selalu waspada akan banjir. Bila hujan deras, aliran air anak sungai Way Batanghari kerap meluap dan masuk ke permukiman warga.
Meski begitu, pihak Taman Edukasi hingga saat ini belum mau buka suara terkait polemik yang terjadi dan selalu diwakilkan oleh Dinas PUTR saat media akan melakukan konfirmasi terkait hal tersebut.
Diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terancam pidana bagi pelanggar daerah aliran anak sungai, di mana setiap orang dengan sengaja, melakukan kegiatan kerusakan air dan prasarananya dan pencemaran air sebagaimana dalam pasal 25 huruf b dan d, dan pasal 36, dapat dipidanakan paling lambat 3 (tiga) tahun, paling lama 9 (sembilan) tahun, dengan denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp15 miliar.
Sedangkan, bila sengaja melakukan kegiatan konstruksi prasarana sumber daya untuk kebutuhan usaha, tanpa izin seperti dimaksud pada pasal 40 ayat 3 (tiga) dapat dipidanakan 3 (tiga) tahun penjara, dengan denda Rp1 miliar hingga Rp5 miliar.(*)[Arif Surakhman]