Jejamo.com, Bandar Lampung – Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Metro mendiskualifikasi pasangan Wahdi-Qomaru dari Pilkada 2024 menuai kritik tajam. Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, Dr. Fathul Mu’in, menilai langkah ini berpotensi melampaui kewenangan dan bisa dianulir demi menjaga keadilan dan demokrasi.
“KPU Metro berisiko menyalahgunakan kewenangannya. Secara administratif, hal ini bisa dikoreksi oleh KPU Provinsi atau KPU Pusat,” kata Fathul, Rabu, 20/11/2024.
Menurut Dr. Fathul, KPU Provinsi maupun KPU Pusat memiliki wewenang untuk mengoreksi atau mengambil alih keputusan apabila ditemukan indikasi pelanggaran prosedur. Ia juga menambahkan, KPU Metro yang baru dilantik pada 21 November 2024 dapat melakukan evaluasi ulang terhadap keputusan ini.
“Dalam aturan undang-undang dan Peraturan KPU (PKPU), tersedia mekanisme pengambilalihan kewenangan jika ditemukan potensi penyalahgunaan,” jelasnya.
Langkah KPU Metro melalui Keputusan Nomor 422 Tahun 2024 dianggap kontroversial karena tidak didukung rekomendasi pembatalan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Metro maupun Pengadilan Negeri.
Keputusan diskualifikasi ini bermula dari kasus yang melibatkan calon Wakil Wali Kota Metro, Qomaru Zaman. Ia dinyatakan bersalah atas pelanggaran pidana pemilu dan dijatuhi hukuman denda Rp6 juta, dengan ancaman subsider satu bulan kurungan. Meski demikian, vonis tersebut tidak diiringi rekomendasi resmi untuk membatalkan pencalonan Wahdi-Qomaru.
“Diskualifikasi tanpa dasar hukum yang kuat adalah langkah yang terlalu berani,” kritik Fathul.
Keputusan ini tidak hanya memengaruhi pasangan calon, tetapi juga dianggap sebagai ancaman terhadap prinsip keadilan dan demokrasi. Menurut Fathul, koreksi atas keputusan ini sangat penting untuk menjaga integritas proses Pilkada.
“Ini menjadi ujian bagi penyelenggara pemilu untuk memastikan proses berjalan transparan dan adil. Jika ada pelanggaran, harus segera diperbaiki,” tegasnya.
Keputusan KPU Metro juga memicu pertanyaan publik mengenai netralitas dan independensi penyelenggara pemilu di tingkat daerah. Dengan waktu yang semakin mendekati pelaksanaan Pilkada serentak pada 27 November 2024, intervensi dari KPU Provinsi Lampung maupun KPU Pusat dinilai mendesak.
Fathul mengingatkan semua pihak, termasuk calon kepala daerah, untuk mematuhi aturan pemilu. Ia menegaskan bahwa pelanggaran sekecil apa pun dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
“Pilkada adalah ajang untuk menunjukkan komitmen kepada masyarakat. Ketaatan pada aturan merupakan penghormatan kepada demokrasi itu sendiri,” ujarnya. (*)