Jumat, November 8, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Opini Wulan Octi Pratiwi: Negeri Oligarki

Mahasiswa demo menolak RUU Omnibus Law Cilaka. | Sugiono

INDONESIA adalah negara yang menganut politik demokrasi. Seperti yang dikemukakan oleh filsuf Jean-Jacques Rousseau, sudah seharusnya setiap kebijakan ataupun wacana politik bergulir dengan mengedepankan prinsip kebaikan bersama atau common good yakni, kebaikan warga negara.

Lantas apa yang terjadi dengan negara Indonesia saat ini? Apakah demokrasi ideal tersebut tidak terwujud di Indonesia? Benarkah politik demokrasi sudah tercampur dengan politik oligarki?

Istilah oligarki berasal dari bahasa Yunani, Oligarkhes yang berarti diperintah atau diatur oleh beberapa orang. Merujuk pada kamus Merriam-Webster, oligarki sebelumnya diartikan sebagai pemerintahan yang diatur oleh beberapa orang, berubah menjadi kelompok kecil yang melakukan kontrol terhadap pemerintahan untuk tujuan korupsi ataupun kepentingan pribadi.

Sedangkan pada konteks Indonesia, merujuk pada pandangan professor di Northwestern University, Jeffrey A. Winters, oligarki didefinisikan sebagai politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan materil.

Oligarki merupakan struktur pemerintahan dimana kekuasaan hanya berpusat pada sekelompok orang dan kerap golongan ini mengendalikan kekuasaan sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.

Menurut Aristoteles, oligarki secara literalnya didefinisikan sebagai kekuasaan oleh segelintir orang yang merupakan manifestasi pemerintahan yang buruk. Karena sifatnya yang elitis dan ekslusif, terlebih lagi biasanya hanya beranggotakan orang-orang bermodal, oligarki ini cenderung tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan teori Thomas Aquinas, istilah ologarki ini diartikan sebagai kekuasaan kelompok kecil, dalam oligarki ini penguasa negara menindas represi ekonomi. Penguasa oligarki ini ialah orang-orang yang memiliki harta kekayaan yang melimpah. (Suhelmi, 2001).

Adapun ciri-ciri negara yang menganut sistem pemerintahan oligarki di antaranya kekuasaan dipegang oleh kelompok kecil masyarakat, terjadi ketidaksetaraan ataupun kesenjangan dari segi material yang cukup ekstrim, uang dan kekuasaan merupakan hal yang tidak terpisahkan, kekuasaan hanya untuk mempertahankan kekayaan.

Jefrey Winters, selaku analisis politik mengatakan bahwa demokrasi Indonesia ternyata dikuasai oleh kelompok oligarki, akibatnya sistem demokrasi di Indonesia semakin jauh dari cita-cita serta tujuan untuk mensejahterakan rakyat.

Tercatat sejak 2019 lalu, begitu maraknya kejanggalan-kejanggalan yang muncul dan menjadi problematika di negeri ini.

Kejanggalan tersebut muncul dari berbagai kebijakan pemerintah ataupun wacana publik seperti revisi UU KPK, RKUHP, Amandemen UUD 1945, ataupun masifnya politik akomodatif yang membuat koalisi pemerintah begitu gemuk hal ini semakin memperlihatkan bahwa politik oligarki benar-benar diterapkan di Indonesia.

Lantas apakah benar bahwa sistem politik di Indonesia ini merupakan sistem politik campuran antara politik demokrasi dengan politik oligarki?

Selama ini tidak jarang masyarakat beranggapan bahwa pemerintah merupakan pihak yang senantiasa diharapkan untuk menjadi malaikat pelindung yang dapat menciptakan kesejahteraan dan mendistribusikan keadilan secara merata.

Namun, realitanya alih-alih yang dianggap sebagai malaikat pelindung justru tidak jarang malah menciptakan kecemasan dan keriuhan publik melalui kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak berorientasi untuk kesejahteraan rakyatnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, penulis menilai kita semua masih ingat dengan peristiwa demonstrasi besar-besaran rekan-rekan mahasiswa yang mewakili dari hampir seluruh penjuru negeri ini.

Tepat pada 23 September tahun lalu, peristiwa ini menjadi demonstrasi terbesar dalam dua dekade terakhir ini. Peristiwa ini disinyalir karena keputusan presiden RI dan DPR mengesahkan revisi UU KPK yang dinilai sebagai upaya untuk melemahkan lembaga antirasuah tersebut. 

Bukan hanya prihal revisi UU KPK, tuntutan yang tidak kalah penting nya ialah terkait RKUHP yang juga dinilai kontraversi dan berpotensi menimbulkan banyak kerugian.

Adapun berbagai wacana-wacana politik lain yang kian muncul seperti amandemen UUD 1945 yang ingin mengubah pasal 7 dengan tujuan perpanjangan periode jabatan presiden.

Bahkan baru-baru ini Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyebut bahwa para anggota DPR RI saat ini telah kehilangan nurani dan empatinya, betapa tidak di di tengah pandemi covid-19 justru pemerintah seringkali membuat kegaduhan publik dibandingkan dengan usaha memperjuangkan kepentingan rakyat.

Tepat beberapa waktu lalu pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menjadi kontraversi di antaranya terkait pembahasan RUU-RUU yang kontroversial di tengah pandemi ini.

Seperti pembahasan DPR terkait RUU Cipta Kerja yang diangggap hanya memberikan keruntungan bagi pengusaha ataupun pemodal dan memberikan banyak kerugian bagi buruh atau pekerja.

Juga pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU permasyarakatan yang juga telah ditentang keras oleh masyarakat melalui demonstrasi di berbagai daerah.

Selain itu, dikeluarkannya Perpu darurat No 1 tahun 2020 tentang penyelamatan sektor keuangan yang diklaim sebagai dampak dari pandemi covid-19 alih-alih dengan tujuan untuk menyelamatkan sektor keuangan, ekonomi di tengah pandemi.

Hal-hal tersebut yang secara tidak langsung benar-benar menjadi kobaran api ditengah diskursus politik publik di negeri ini.

Demokrasi yang berjalan saat ini bukan hanya mengancam kehidupan publik, tapi juga mengancam demokrasi itu sendiri.

Pelaksanaan demokrasi hanya menjadi aktivitas mencari segala cara untuk mencapai tujuan tanpa mempersoalkan apakah cara yang digunakan sesuai dengan nilai-nilai etis, serta apakah tujuan yang ditentukan dapat dibenarkan secara rasional.

Semua ini harus menjadi pelajaran bagi kita dalam memperbaiki demokrasi. Masyarakat tidak bisa dibodohi terus-menerus, kekecewaan publik lama kelamaan akan menjadi boomerang bagi elit-elit politik yang menyimpang.

Pelaksanaan demokrasi haruslah memperhatikan unsur kompetensi dan integritas bukan sekedar mobilitas dan partisipasi.

Untuk itu, kepada tuan dan puan yang terhormat tidak ada Undang-undang yang tidak penting, semua penting.

Justru karena undang-undang itu penting, aneh jika pembahasannya diseriusi di waktu seperti sekarang saat di mana perhatian dan konsentrasi sedang terkuras bertahan hidup di tengah wabah.

“Produk hukumnya pun berpotensi cacat bila tidak memenuhi ketentuan, dan rasanya belum ada pembahasan ruu secara virtual. Jika ngotot menuntaskan Omnibus Law, atau RUU KUHP atau RUU Pemasyarakatan, jangan salahkan jika ada yang menilai DPR tidak menjadikan perang melawan corona sebagai prioritas,” ujar Najwa Shihab. []

(Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Tarbiyah UIN Raden Intan Lampung)

Populer Minggu Ini