Senin, Desember 16, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Kakek Saman Tukang Sampah Upah Rp1.000 Per Rumah di Bandar Lampung: Yang Penting Enggak Nyolong

Saman. | M Mahfudz Dzikrullah
Saman. | M Mahfudz Dzikrullah

Jejamo.com, Bandar Lampung – Segala cobaan dalam hidup merupakan beban yang amat berat dijalani setiap manusia, baik miskin maupun kaya, baik muda maupun tua. Namun di balik beratnya cobaan, selalu ada secercah hikmah yang amat begitu indah.

Terkadang manusia selalu menginginkan kehidupan yang layak dan sesuai harapannya. Tapi terkadang, Tuhan memberikan sesuatu yang berbeda dari apa yang kita minta. Namun segalanya bukanlah menjadi suatu penghambat semangat kita untuk capai segala mimpi-mimpi yang ada.

Pria yang biasa disapa Mang Saman ini memiliki tubuh kurus dibalut kulit hitam yang sudah mulai mengeriput. Pria yang rambut dan kumisnya mulai memutih ini tinggal di Kelurahan Panjang Utara, Kecamatan Panjang, tepatnya di Gang Pancur.

Saman, pria kelahiran tahun 1953 ini, memiliki istri yang bernama Dede. Pasutri ini menumpang di sebuah rumah berdindingkan geribik dan papan yang merupakan pemberian dari warga sekitar. Saman dan Dede telah dikaruniai empat putra dan lima putri, serta satu cucu laki-laki dan satu cucu perempuan.

Pria lulusan dari Sekolah Rakyat (SR) ini hanya mampu bekerja sebagai pemulung rongsokan dan petugas kebersihan atau Sokli  dengan upah seribu rupiah per bulan per rumah.

Dengan upah yang tak sebanding itu, Saman memilih mengambil tawaran kerja dari kelurahan menjadi tukang sampah. Awalnya ia diberi sebuah gerobak untuk bekerja, namun kini ia menggunakan motor roda tiga yang ia kredit dari hasil jerih payahnya selama menjadi tukang sampah.

Saman tidak bekerja sendirian. Ia ditemani sang anak yang bernama Riski (18). Riski (18) yang ikut bekerja dengan ayahnya ini sudah dari sejak umur sepuluh tahun. Riski-lah yang memilih untuk tidak sekolah dan lebih memilih membantu ayahnya mengambil sampah.

Saman bekerja setiap hari, tidak ada kata libur dalam benaknya.

Ngambil sampahnya enggak tentu, kadang pagi, kadang siang. Ya kalau saya lagi enggak enak badan kadang si Riski yang ngambil pagi, saya sorenya,” ujarnya kepada jejamo.com beberapa waktu yang lalu.

Meski dilanda kesulitan ekonomi, Saman tidak surut dalam hal sosial. Pada sebuah kesempatan pawai telur Maulid Nabi, ia pernah ikut andil meski hanya membantu tenaga. Ia menghias motor roda tiganya yang biasa dipakai saat memumungut sampah untuk diikuti pawai. Begitu semangatnya ia meski berada dalam kondisi yang memprihatinkan.

Ia berpartisipasi dan berbaur dengan masyarakat lain, membantu semampunya. Bagi dia, melihat paguyuban antarwarga kampung menjadi suatu hal yang membahagiakan meski hanya membantu mendekor motor kesayangannya.

Sepak terjal angkuhnya roda kehidupan menjadi tukang sampah sudah ia jalani selama sepuluh tahun. Suka-duka selama menjadi tukang sampah sudah banyak ia lalui. Ada yang simpati, ada juga yang mencaci dirinya.

“Kami cari duit untuk makan sehari-hari, yang penting halal,” ujar Saman sambil membenahi geribik rumahnya yang mulai rapuh.

Dengan pendapatan yang tak menentu ditambah dengan jumlah anak yang banyak, kehidupan Saman semakin terimpit dan sulit. Dalam sehari ia harus mengeluarkan uang lebih dari seratus ribu rupiah untuk kebutuhan sehari-hari, kebutuhan dapur, beli rokok, kopi, dan untuk jajan anak-anaknya

“Tapi enggak ngeluh, rezeki mah ada aja,” tambahnya.

Bagi Saman, senyum bahagia dari anak-anaknya lah yang menjadi harta sekaligus penguat untuknya mencari nafkah.

Terkadang upah hasil jerih payahnya selama sebulan diambil tidak tentu, bisa akhir bulan bahkan pertengahan bulan.

Sang istri yang berkeliling meminta upah saat tak ada lagi biaya. Bukan sedikit ocehan salah paham yang diterima sang istri saat meminta upah dari rumah ke rumah.

“Bukan apa-apa, kan untuk kepentingan kita juga. Kalau perut engak diisi ya enggak jalan. Motor juga kalau enggak dirawat ya enggak jalan,” katanya.

Dari hasil jerih payahnya, Saman mampu mengkredit motor roda tiga yang biasa ia bawa keliling untuk mengangkut sampah bersama Riski.

Selain menjadi tukang sampah, ia juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai penanam ubi di kebun orang lain. Hasil kebunnya ia manfaatkan bila sewaktu-waktu uang untuk makan habis. Pekerjaannya sebagai penanam ubi ini ia lakukan selepas pulang bekerja.

Saman yang sudah menginjak usia 63 tahun ini merasa nyaman dengan memungut sampah. Meskipun, jerih payahnya belum memenuhi apa yang ia butuhkan untuk keluarga sederhananya.

Dengan bekerja seperti ini lah ia mampu menafkahi anak dan istrinya karena pendidikan yang hanya sebatas Sekolah Rakyat (SR) membuatnya tak mempunyai keahlian lain.

Mungkin baginya, sampah setumpuk harapan yang bisa melanjutkan hidup, menggapai mimpi-mimpi, dengan semangat yang tak redup dan tanpa henti. Sampah menghidupinya dan lingkungan membutuhkannya.

“Kerja terus, enggak usah ngeluh, terima aja apa adanya, yang penting badan kita sehat, dan enggak  nyolong” tutupnya.(*)

Laporan M. Mahfuzh Dzikrullah, Wartawan Jejamo.com

Populer Minggu Ini