Minggu, Oktober 13, 2024

Top 5 This Week

Related Posts

Inilah Sejarah Desa Karta di Tulang bawang Barat yang Telah Berdiri Sejak Abad Ke-13

Kantor Kepala Tiyuh Karta
Kantor Kepala Tiyuh (Desa) Karta saat ini | Wahyu/Jejamo.com

Jejamo.com, Tulang Bawang Barat – Desa Karta merupakan salah satu desa dengan sejarah yang cukup panjang. Desa yang kini berada di wilayah Kabupaten Tulang Bawang Barat ini bahkan sudah berdiri sejak abad ke-13. Sejak zaman dulu Desa Karta sudah punya sistem pemerintahan yang kuat dan dikenal luas di Lampung.

Desa Karta yang terletaknya di tepi sungai Way Kiri (Way Rarem) mungkin belum banyak yang mengenal. Dikutip Jejamo.com, dari sebuah buku Monografi Desa Karta, Kecamatan Tulang Bawang Udik, yang dulu masih berada di wilayah naungan Kabupaten Daerah TK. II Lampung Utara di tahun 1978/1979. .

Desa Karata didirikan pada abad ke XIII oleh Kun Tunggal II, yang merupakan cucu dari Putri Bulan. Berdasarkan sejarah turun temurun dari generasi sebelumnya, desa tersebut awalnya bernama ”Kerto, Layo, Bujung, Tegaguk”. Artinya Kerto itu aman, Layo itu rata, Bujung itu Tanjung, dan Tegaguk adalah sebuah nama dari sejenis kayu hutan.

Pemberian nama ini secara umum didasarkan bahwa situasi desa tersebut cukup aman, lokasinya rata sampai ke way terusan. Lalu, terletak dalam lingkaran sebuah tanjung sungai Way Rarem yang penuh ditumbuhi kayu tegaguk.

Kemudian, semenjak jaman penjajahan Belanda di Indonesia nama kerto layo bujung tegaguk lama kelamaan disingkat menjadi “Karta”. Nah, itulah awal mula desa tersebut diberi nama Desa Karta sampai saat ini.

Sedangkan, untuk asal-usul masyarakat Desa Karta. Menurut garis besarnya, asal-usul masyarakat tersebut dapat dibagi kedalam dua jalur keturunan yaitu; keturunan dari Putri Bulan (Buay Bulan) dan keturunan dari nenek moyang yang datang dari pulau Jawa sekitar tahun 1.500 sampai dengan 1.530 lampau.

Uniknya, antara kedua jalur keturunan tersebut telah terjadi asimilasi yang begitu sempurna. Sehingga dari segi adat istiadat Lampungnya tidak dijumpai adanya perbedaan apapun.

Dimana, sejarah pemerintahan Desa Karta pada mulanya, rakyat desa bernaung dalam kesatuan masyarakat adat atau masyarakat kebudayaan yang bernama marga. Yaitu Marga Buay Bulan udik yang meliputi Desa Karta, Desa Gunung Katun Tanjung, Desa Gunung Katun Malay, dan Desa Gedung Ratu.

Sementara menurut silsilahnya, kebuayan masyarakat Desa Karta sebagai budaya yang tertua dalam garis kebudayan Putri Bulan. Sehingga desa tersebut ditetapkan sebagai pusat Marga Buay Bulan Udik.

Pada waktu itu, para kepala desa yang memerintah di Desa Karta hampir tidak berfungsi jabatannya. Dimana, tugas yang dilaksanakan sehari-hari hanya terbatas pada hal-hal tertentu saja, seperti pemungutan padi tanjung (salar), pemungutan pajak batu dan memimpin mata gawi (gotong-royong penduduk).

Peraturan-peraturan yang berlaku di Desa Karta pada khususnya serta Marga Buay Bulan Udik pada umumnya, berasal dari hasil penetapan musyawarah penyimbang-penyimbang (kepala adat) semua Marga Buay Bulan Udik, yang lazim disebut dengan istilah sidang marga.

Semua bentuk masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat sehari-hari atau kasus-kasus yang terjadi antar penduduk, harus dan selalu dapat diatasi oleh penyimbang adat sesuai dengan ketentuan yang berlaku kecuali masalah pembunuhan.

Untuk hukuman-hukuman terhadap kesalahan yang dilakukan oleh seseorang, dengan tegas diatur dalam pasal-pasal ketetapan sidang marga yang diberi judul “ilo-ilo pak, silip walu, cepalu wo belas”.

Sedangkan untuk hukuman bagi kesalahan-kesalahan biasa yang dijatuhkan pada umumnya berupa “denda uang”, yang dalam bahasa adat disebut “urun”. Tetapi apabila kesalaha itu dinilai dapat merusak norma-norma adat maka tersangka dapat dikeluarkan dari kesatuan adat.

Dari hal tersebut, maka dapat dikatakan hampir tidak ada masalah yang penyelesaiannya ditangani oleh pemerintah. Hal itu disebabkan karena kekuasaan penerintah Belanda memang belum sepenuhnya menjangkau desa karta. Selain itu, juga disebabkan oleh kesatuan masyarakat adat yang begitu ketat.

Kemudian, baru pada bulan Februari 1929, pemerintah mengangkat seorang putra desa karta yang bernama Ratu Pengadilan menjadi kepala Marga Buay Bulan Udik, dengan jabatan Pasirah.

Pada waktu itu, kepala-kepala desa dalam Marga Buay Bulan Udik , yang sebelumnya tunduk pada Onderafdecling Menggala, berubah menjadi dibawah naungan Pesirah Buay Bulan Udik k langsung.

Selama penjajahan Belanda di Indonesia, yaitu VOC sampai pada perang kemerdekaan tahun 1945-1950, desa karta tidak pernah dimasuki oleh serdadu Belanda yang bersifat serangan peperangan.

Bahkan selama terjadinya clash I dan II desa karta telah menjadi pusat kegiatan pemerintahan sipil yang dipimpin Bapak Bupati Lampura A. Akuan, yang saat itu terkenal dengan percetakan uang daruratnya.

Desa tersebut juga menjadi staf kegiatan angkatan perang dan kepolisian. Angkatan perang tersebut beranggotakan sekitar 200 orang, yang dipimpin oleh Mayor Sukardi dan Kapten Masad. Dan anggota Kepolisian ada 12 orang yang dikomandanni oleh Bapak Djimin.

Kekuasaan Pasirah berakhir pada tahun 1956, dimana fungsinya digantikan oleh negri, yaitu Negri Tulang Bawang Udik. Negri tersebut tidak lagi beribukota di karta, tetapi disatukan dengan ibukota kecamatan yaitu di Panaragan, dengan wilayah kekuasaan meliputi; ex Marga Tegamoan dan ex Marga Buay Bulan Udik. Namun, kekuasaan kenegrian tersebut berlangsung relatif singkat dan berangsur angsur pudar.

Sesuai dengan perkembangan pemerintahan di Indonesia, khususnya di Provinsi Daerah Tingkat I Lampung. Sehingga pada tanggal 29 Januari 1972, oleh Kepala Daerah Tingkat I Lampung (Gubernur) Hi Zainal Abidin Pagar Alam diresmikanlah, Kecamatan Tulangbawang Udik yang ibukotanya di Karta. Sehingga dengan demikian Desa Karta menjadi staf kegiantan instansi/jawatan tingkatan Kecamatan Tulang Bawang Udik.

Belum dapat diketahui secara pasti berapa jumlah sesungguhnya Kepala-Kepala Kampung yang pernah memerintah di Karta semenjak abad ke 13. Namun, dari informasi yang dikumpulkan Jejamo.com, berikut daftar nama Kepala – Kepala Kampung mulai dari abat ke 13 sampai tahun 2016 :

1. Ngediko Jimat ( alm )
2. Bumi Kul ( alm )
3. Puting Ratu ( alm )
4. Minak Susunan ( alm )
5. Tuan Sumbahan ( alm )
6. Tuan Rajo ( alm )
7. Raja Pasirah Alam ( alm )
8. Raja Asal SG (alm )
9. Sutan Junjungan ( alm )
10. Nurhasan Tn. T. Mega
11. M. Yasid MM.
12. Syahmin Sutan Seimbang
13. Muhammad Thoib.
14. Plt. Kades. Ratu sekurai Sutan bandarajo.
15. Dahser Lambung
16. Turunan Mega, Sudiyanan.

Laporan Wahyu, wartawan jejamo.com

Popular Articles