Jejamo.com, Jepang – Film dokumenter tentang perempuan yang dipaksa menjadi pekerja seks pada zaman perang diputar di Festival Film Jepang. Pemutaran film dokumenter ini sempat dibatalkan dengan alasan bisa memicu kecaman.
Dilansir dari BBC, penyelenggara festival di Kawasaki tersebut menyatakan masalah keamanan terkait pemutaran film telah teratasi.
Puluhan ribu “budak seks” dari Asia, termasuk Indonesia, dipaksa bekerja di bordil militer Jepang.
Kelompok nasionalis Jepang menyangkal para perempuan ini dipaksa menjadi pekerja seks.
Permulaan tahun ini pameran tentang “budak seks” dipaksa ditutup selama dua bulan karena muncul ancaman akan dibakar.
Ahli sejarah memperkirakan 200.000 perempan dipaksa bekerja di berbagai bordil untuk melayani tentara Jepang.
Kebanyakan dari mereka berasal dari Korea, tetapi juga dari Indonesia, China, Filipina dan Taiwan.
Sejumlah kelompok nasionalis Jepang menyangkal pernyataaan tersebut. Mereka menegaskan tidak terdapat bukti tertulis bahwa militer Jepang memerintahkan perekrutan perempuan secara paksa.
Masalah budak seks merupakan salah satu pertikaian yang merusak hubungan Jepang dengan sejumlah negara tetangganya di Asia.
Tokyo menyatakan traktat 1965 yang memulihkan hubungan diplomatik dan pemberian bantuan keuangan Jepang lebih dari US$800 juta atau Rp11 triliun untuk Korea Selatan telah menyelesaikan masalah.
Tahun 2015, Jepang menandatangani persetujuan dengan Korea Selatan untuk mengatasi persoalan ini.
Jepang meminta maaf dan berjanji membayar satu miliar yen atau Rp129 miliar — jumlah yang diminta Korea Selatan — bagi para korban.
Sejumlah pengecamnya mengatakan persetujuan dicapai tanpa berkonsultasi dengan para korban.
Di Indonesia, perempuan dari Jawa dibawa ke garis depan peperangan, seperti di Kalimantan, Sulawesi, bahkan juga Maluku, termasuk di Pulau Buru.
Salah satunya adalah Sri Sukanti (80-an tahun) yang baru berusia sembilan tahun ketika dibawa tentara Jepang ke Gedung Papak, Purwodadi, Jawa Tengah.
“Wah ayah saya semaput-semaput (pingsan) saya dibawa dikira mau dibunuh. Terus ada lagi teman saya sekolah, dikira mau dibunuh. ‘Jangan, saya saja, saya saja’,” ungkap Sri.
Di Indonesia, lewat badan bentukan Jepang Asia Women Fund, diberikan dana sebesar 380 juta yen (sekitar Rp24 milliar dengan kurs saat itu) melalui Kementerian Sosial secara bertahap selama 10 tahun untuk membangun fasilitas 235 panti jompo di seluruh daerah.
Sri Sukanti mengaku pernah mendapatkan dana bantuan dari Kementerian Sosial selama sekitar tiga bulan pada tahun 2011.