Jumat, November 8, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Esai Juwendra Asdiansyah: Didi Kempot

Didi Kempot. | Fimela.com

SEBUAH lagu mengalun dari rumah berhalaman luas di Desa Haduyang Ratu, Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung Tengah, pada satu siang yang terik, medio Juli 2000.

Volume pemutar musik disetel kuat sehingga suara lagu terdengar jelas hingga teras rumah seberang, tempat saya tengah duduk.

_Ning Stasiun Balapan_
_Kuto Solo sing dadi kenangan_
_Kowe karo aku_
_Naliko ngeterke lungamu_

Itu kali pertama saya mendengar Stasiun Balapan. Sebuah lagu berbahasa Jawa

Saya bukan orang Jawa. Banyak dari syair Stasiun Balapan tak saya pahami. Tapi dari beberapa bagian, saya maklum, ini lagu tentang lara hati, kehilangan, dan kenangan. Sebuah lagu sedih, semestinya.

Namun, _alih-alih_ ngelangut, saya malah menggerak-gerakkan kaki, seolah ingin berjoget mengikuti irama dan musiknya. Aneh.

Dua bulan di Haduyang, untuk sebuah KKN yang sangat terlambat, saya menjadi akrab dengan Stasiun Balapan.

Di rumah-rumah warga, ia diputar pagi, siang, malam, hingga pagi lagi. Ia berjaya di panggung-panggung organ tunggal di berbagai acara hajatan.

Ia bagai lagu wajib pada sesi gitar-gitaran bujang-bujang nongkrong di perempatan-perempatan jalan. Pemuda-pemuda itu umumnya beretnis Lampung. Selain bahasa Indonesia, bahasa Lampung merupakan bahasa mereka sehari-hari.

Tapi layaknya orang Jawa, mereka terdengar fasih saat mendendangkan Stasiun Balapan. Lagu ini seolah menjadi bukti terbaik bahwa musik adalah bahasa universal yang mempersatukan manusia, apa pun suku, bangsa, kelas, dan agamanya.

Membuat lagu, musik, dan bernyanyi, yang kemudian mampu mempersatukan begitu banyak orang itu lah yang dilakoni dengan tekun oleh seorang Didi Kempot.

***

Saat ini, siapa yang tak kenal Didi Kempot. Bukan cuma Stasiun Balapan, sederet lagu lain besutannya dikenal dihapal, dan dinyanyikan orang di seantero negeri.

Anak-anak hingga orang dewasa, driver ojol sampai bankir, tak asing dengan Cidro, Layang Kangen, Banyu Langit, Suket Teki, Sewu Kuto, Pamer Bojo, Tanjung Mas Ninggal Janji, Dalan Anyar, atau Tangise Ati.

Cover lagu-lagu tersebut berserakan di Youtube. Tak sedikit dari penyanyinya bahkan mendapat banyak uang dari menyanyikan ulang hits-hits Didi.

Memulai dari jalanan Surakarta, karier bermusik Didi Kempot tidak mengangkasa tiba-tiba. Sejak Stasiun Balapan meledak pada 1999, perlu belasan tahun hingga ia mencapai titik sukses luar biasa seperti sekarang.

Di antara kunci suksesnya ialah berani tampil beda dan setia menekuni pilihan berbeda tersebut.

Jalan sunyi ditempuh Didi dengan memadukan tiga hal: campur sari, lirik berbahasa Jawa, dan lagu bertema galau-patah hati.

Dalam lebih 700 lagu besutannya, campur sari mendominasi. Didi dilambungkan oleh campur sari, namun sekaligus melambungkan genre itu—meneruskan dengan lebih hebat apa yang dikerjakan Manthous pada 1980-an.

Aliran ini memang tak biasa. Pop banget sudah pasti bukan. Seperti dangdut, tapi tidak dangdut-dangdut amat. Sedikit mirip keroncong, tapi jauh dari keroncong arus utama ala Gesang, Tan Tjeng Bok, Mus Mulyadi, atau Waldjinah.

Soal lagu berbahasa Jawa, Didi tentu bukan yang pertama. Begitu banyak pencipta-penyanyi yang bisa disebut. Tapi, berapa banyak dari mereka yang diterima demikian luas di Nusantara hingga mancanegara, serta menggapai sukses luar biasa seperti Didi Kempot.

Tema nelangsa, kehilangan, patah hati, juga bukan original milik Didi. Bedanya, ia istikamah. Konsisten menjadikan patah hati sebagai muatan lagu-lagunya, menulisnya dalam bahasa Jawa, dan membalutnya dengan campur sari.

Campur sari dan lagu berbahasa Jawa identik dengan ndeso-tradisional. Dua hal yang atas nama eksistensi dan selera, sejak lama cenderung dijauhi kelompok remaja-muda perkotaan.

Maka, sungguh bukan perkara mudah membuat dua “antitesis modernitas” itu intim dengan generasi milenial yang serba internet, serba digital, saat ini.

Bukannya dialienasi, campur sari racikan Didi, malah dicari dan dilekatkan sebagai “identitas” demikian banyak orang hari ini.

Menjadi bagian dari Sobat Ambyar bahkan menjadi gaya hidup. Nggak keren kalau nggak ambyar.

Sebuah suasana anomali yang bahkan dangdut pun sulit melakukannya selama ini.

Kritikus musik Bens Leo menyebut, Didi seorang entertainer sejati. “Hanya dia, musisi Indonesia yang bisa head to head dengan K-Pop.”

Fenomena Didi Kempot memang khas, tidak umum, unik. Sama uniknya dengan perilaku para penggemarnya, Sadboys dan Sadgirls.

Dalam satu bagian obituari Glenn Fredly yang wafat 8 April lalu, saya menulis, ”Hingga kini, mereka yang sedang dibius cinta atau ditinggal kekasih, tak butuh banyak hal. Cukup sebatang cokelat, asap rokok, rintik hujan, dan lagu-lagu Glenn.”

Saat putus cinta, mendengar lagu-lagu Glenn adalah upaya meneguhkan kegetiran dan mengentalkan pahitnya patah hati. Orang yang patah hati, akan mendengar Akhir Cerita Cinta atau Sedih Tak Berujung, dalam tangis, sendiri, diam dan sunyi.

Beda dengan lagu-lagu Didi Kempot. Bersama Sewu Kuto, Cidro, Banyu Langit, atau Tangise Ati, orang yang patah hati merayakannya dengan air mata, bernyanyi, dan berjoget sekaligus.

Riang dalam tangis. Menangis dengan gembira. Aneh, tapi nyata.

Agus Mulyadi dalam esainya bahkan menulis, “Mungkin di dunia ini, hanya Didi Kempot yang mampu membuat seseorang patah hati bahkan tanpa perlu jatuh cinta lebih dahulu.”

Didi memang istimewa. Alangkah banyak musisi hebat Tanah Air, tapi dia lah yang didapuk Kompas TV pada 11 April lalu untuk menggelar konser dari rumah —sebuah konser amal yang berhasil menghimpun donasi hingga Rp7,6 miliar untuk penanganan wabah Covid-19.

Maka tak berlebihan ketika Gus Nabil, Ketua Umum Pagar Nusa NU, perguruan silat di mana Didi didaulat menjadi duta, mengatakan, “Didi Kempot adalah musisi nomor satu Indonesia saat ini.”

***

Pagi ini, kabar duka datang tergesa: Didi Kempot mangkat.

Facebook, Twitter, Instagram, WAG, mendadak ambyar. Ini momen ambyar nasional.

The Godfather of Brokenheart, Bapak Loro Ati Nasional, Bapak Patah Hati Indonesia pergi saat “patah hati” sedang jaya-jayanya.

Syair Stasiun Balapan tiba-tiba melintas, dua puluh tahun sejak pertama saya mendengarnya. Masih syahdu, pedih, tapi tanpa keinginan untuk berjoget.

_Ning Stasiun Balapan_
_Rasane Koyo Wong Kelangan_
_Kowe Ninggal Aku_
_Ra Kroso Netes Eluh Ning Pipiku_

_Da… Dada Sayang_
_Da… Slamat Jalan_

_Sugeng tindak_, Lord. Kau boleh pergi, tapi patah hati akan abadi.(*)

*DIDI KEMPOT*
– Nama asli: Dionisius Prasetyo
– Lahir: Surakarta, 31 Desember 1966
– Wafat: 5 Mei 2020
– Putra seniman tradisional terkenal, Ranto Edi Gudel alias Mbah Ranto
– Adik (alm) Mamiek Prakoso, pelawak senior Srimulat.

Populer Minggu Ini