
Diskusi publik di Rektorat UIN Raden Intan Lampung gelaran UKM Maharipal. | Andi Apriyadi
Jejamo.com, Bandar Lampung – Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung mengklaim tidak mendapatkan penghargaan Kota Adipura disebabkan indikator penilaian pada saat itu hanya kebersihan dan belum mewajibkan TPA Sanitary Landfill atau sistem pengelolaan (pemusnahan) sampah dengan cara membuang dan menumpuk sampah di lokasi cekung, memadatkannya dan kemudian menimbunnya dengan tanah.
Staf Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung Ahmat Wahyudi menjelaskan, sejarah Adipura Kota Bandar Lampung telah meraih Adipura sebanyak 4 kali pada tahun 1995, 1996, 1998 dan 2019.
“Pada tahun 2010 terjadi perubahan regulasi penilaian Adipura yang salah satunya mewajibkan TPA yang dimiliki harus Sanitary Landfill,” ujarnya dalam diskusi pubilk bertajuk Bandar Lampung Kota “Veteran ” Adipura di Ruang Seminar Rektorat UIN Raden Intan Lampung, Senin, (22/4/2019). Acara diadakan UKM Maharipal dalam memperingati Hari Bumi.
Wahyudi mengatakan, indikator penilaian Adipura 2019 berpedoman kepada peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan Republik Indonesia nomor P 53/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang pedoman pelaksanaan Adipura.
“Kemudian kebijakan dan strategi daerah (Jakstrada) pengelola rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga telah di tandatangani kepala daerah,” terangnya.
“TPA tidak menggunakan sistem open dumping dan predikat kota Adipura dapat di usulkan apabila nilai total minimal 73 untuk kategori kota metropolitan dan besar,” lanjutnya.
Ia pun memprotes jika Kota Tapis Berseri di bilang kota terkotor.
“Kalau tidak mendapatkan Adipura saya terima, nilai Adipura kecil tapi penghargaan Adipura bukan kebersihan tapi adanya bank sampah dan sebagainya,” paparnya.
Dia menambahkan, sebersih apa pun kota jika TPA open dumping itu akan menjadi pekerjaan rumah terbesar bagi pemerintah dan masyarakatnya.
“Jadi kita harus punya rumusan, untuk kembali meraih penghargaan Adipura,” pungkasnya. [Andi Apriyadi]