Berita Bandar Lampung, Jejamo.com – Pembaca yang budiman, sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan ZS selama beberapa hari berada di Belanda bersama dua penyair lainnya: Juperta Panji Utama dan Arman AZ. Jejamo.com menurunkan tulisan esai Paus Sastra Lampung ini secara berseri. Selamat menikmati.
Gamolan pekhing, sebuah alat musik tradisional terbuat dari bambu berasal dari Lampung Barat sudah berada di Belanda kini.
Gamolan pekhing diyakini sebaga alat musik tradisional sejak masa kekuasaan suku Tumi di lereng Gunung Pesagi–kini wilayah Lampung Barat–semakin dikembangkan sejak Paksi Sekala Brak, hingga cetik ini tak cuma penyeberannya di komunitas seni dan pelajar Lampung dan Australia.
Syapril Yamin berjuluk Rajo Cetik adalah seniman pengarya alat musik berbahan bambu ini. Seniman tradisional asal Kenali, Lampung Barat ini boleh dikatakan tak lelah mengenalkan dan memopularkan gamolan pekhing. Dia produksi alat musik itu dan disebar, hingga sekarang tak lagi asing.
Tak hanya performa gamolan pekhing masuk MURI, kini sudah ada notasinya yang dicipta oleh seniman etnis Bali Wayan “Mocoh” Sumarta.
Alat musik tradisional Lampung tak akan dikenal secara global jika sekiranya tiada upaya membuka pintu dunia itu.
Manakala aku, Arman Az dan Juperta Panji Utama diundang PPI/Universitas Leiden dan PPI Leiden, saatnya alat musik khas masyarakat Lampung Barat ini masuk Belanda, negara bekas kolonial bagi Indonesia. Cetik harus dikenalkan, dipromosikan. Karena ia bagian dari kebudayaan Indonesia.
Istriku, dari melihat-lihat museum di Belanda, khususnya di Amsterdam utamanya Rijks Museum tak dipajang benda-benda dari Lampung.
Kebudayaan Lampung seolah tak terpeta dalam sejarah kolonial, padahal kita tahu Indonesia bukan hanya Jawa, Bali, Aceh, serta Makasar, melainkan ada Riau, Medan, Lampung, maupun etnis lainnya di ribuan pulau.
Tetapi begitulah, istriku, Indonesia hanya diketahui sedikit oleh bangsa luar. Bahkan di mata bekas penjajah, Belanda.
Pada Oktober lalu, Museum Nasional di Jakarta menggelar pameran “Jalur Rempah” yaitu tentang perjalanan rempah di Tanah Air semasa kolonial. Lagi-lagi sejarah ditulis sesuai yang ada dalam pikiran penulis. Sejarah ingin diulang namun ada saja yang hilang.
Menurut hematku yang daif ini, Lampung penyumbang rempah juga bagi Belanda–dalam hal ini VOC–selain kopra dan lada serta kopi, namun kenapa yang tercatat dalam sejarah hanya Barus (Aceh)?
Menyaksikan kenyataan ini, hati siapa pun akan meradang. Apatah lagi aku pernah mendapat pelajaran sejarah di sekolah bahwa Banten “merangkul” Lampung untuk memudahkan pengiriman hasil hutan untuk VOC!
Demikian pula hal lain bagi Lampung, sungguh banyak yang “hilang” dan “dihilangkan” oleh sejarah. Padahal Lampung juga bagian dari Indonesia dan memiliki sejarah serta kekayaan khazanah budaya. Lampung pernah ada Kepaksian Sekala Brak, juga konon pernah hidup Kerajaan Tulang Bawang. Meski yang kusebut terakhir, istriku, disimpulkan sejarawan Hilman Hadikusuma tak ada karena hasil dari penelitiannya untuk memastikan adanya kerajaan harus ada artefak yang ditinggalkan.
Dalam sejarah sastra Indonesia, Lampung telah melahirkan penyair yakni Muhammad Saleh. Pribumi ini menulis syair amat panjang mengenai pandangan mata peristiwa meletusnya Gunung Krakatau pada 1883. Meski “Syair Lampung Karam” karya Muhammad Saleh sebagai reportoar dia tulis di Singapura tiga tahun kemudian adalah karya penulis Lampung.
Syair ini baru ditemukan 100 tahun kemudian di perpustakaan Universitas Leiden. Penemu dan pentraskipnya adalah dosen setempat asal Sumatera Barat, Suryadi Sunuri. Kita mesti berterima kasih padanya.
Walaupun terima kasih kita tak diujudkan dalam bentuk penghargaan, penghormatan, dan sebagainya. Pemerintah, dalam hal ini Lampung, masih menganggap karya seni tak begitu penting. Berbeda dengan olahraga, politik dan atau hal-hal yang bersifat fisik. Persoalan spiritual dan senibudaya acap di nomor sekiankan. Sungguh memyedihkan.
Sampai muasir, sastra Indonesia di Lampung tersisihkan dalam peta sastra Tanah Air. Seakan-akan, sekali lagi, Indonesia hanya Jawa dan Bali.
Anggapan ini telah dibuktikan saat Frankfurt Book Fair baru lalu. Yang hadir di Jerman adalah pengarang Jawa–lebih disempitkan Jakarta–dan Bali.
Alih-alih Lampung disertakan, penulis Sumatera Barat dan Riau tidak dibawa serta ke Jerman.
Nah, akhirnya aku mahfum bahwa siapa yang tahu banyak sejarah cenderung menutupi sebagian dari sejarah tersebut.
Maka, istriku, lawatan aku bersama sastrawan dan peneliti ke Belanda ini ingin menelisik ke belakang tentang sejarah dan khasanah kebudayaan Lampung masa silam yang tersimpan di negeri Kincir Angin.
Salah satunya dengan menyimpan gamolan pekhing agar terdokumentasi dengan baik. Sekarang memang seperti tak berguna, tapi berabad-abad kelak akan berharga.
Istriku, aku ingin mencatat dari perjalananku ini, yakni ternyata di Amsterdam kami temui Lampongatraat (Jalan Lampung).
Betapa bahagia kami. Ketika sejarah masa silam tentang Lampung tak tercaraf. Namun Belanda masih menghargai keberadaan Lampung.
Istriku, jika kau membaca catatanku ini, senoga kau paham; jaga dan rawat sejarah.
Dari sana kita akan menghargai sastra dan kebudayaan. Semoga.
Jejamo.com, Portal Berita Lampung Terbaru Terpercaya