Jejamo.com, Bandar Lampung – Komunitas Zero Waste Village ajak warga Sukamenanti Baru mengelola sampah di Bandar Lampung yang sudah mencapai 1000 ton perhari. Sayangnya peningkatan produksi sampah tidak sejalan dengan pengembangan perluasan TPA Bakung yang hingga saat ini masih belum terealisasi. Akibatnya, air sumur warga sekitar bakung saat musim hujan tercemar sampah yang berasal dari TPA Bakung. Sehingga, diperlukan adanya perhatian serius, tidak hanya dari pemerintah Kota Bandar Lampung, melainkan juga dari masyarakat yang berada di sekitar kawasan eksisting TPA Bakung.
Menurut Hadi Prayitno, masyarakat secara bergotong royong harus ambil peran dalam mengelola sampah agar mengurangi volume sampah ke TPA Bakung. Komunitas Zero Waste Village mengajak warga Sukamenanti Baru untuk ambil peran dalam mengelola sampah kota. Pengelolaan sampah secara baik minimal dengan prinsip 3R (reuse, rejuce, recycle) akan memberikan banyak manfaat.
Pertama, tentu secara siginifikan akan mengurangi sampah kota. Kedua, dengan memanfaatkan sampah untuk urban farming akan meningkatkan ekonomi warga sekaligus menambah ruang terbuka hijau. Ketiga, mengurangi gas efek rumah kaca melalui urban farming dengan mengurangi open dumping sampah di TPA Bakung. Keempat, dengan mengelola sampah menjadi ekobrik di taman dan verkultur di lorong-lorong akan menjadikan sukamenti baru menjadi livability village.
Kegiatan-kegiatan tersebut tidah hanya menjadi pekerjaan rumah bagi Komunitas Zero waste village, melainkan hasil kolaborasi bersama dengan dengan komunitas Ayo Menanam. Komunitas ayo menanam secara aktif mengajak Kelompok-Kelompok Wanita Tani Sukamenanti Baru untuk ikut serta dalam kegiatan pengelolaan sampah menjadi urban farming.
Sholeh yang merupakan ketua Komunitas Ayo Menanam mengajak warga memanfaatkan sampah-sampah organik menjadi kompos. Kompos yang diproduksi nantinya akan menjadi pupuk sayuran dan tanaman lain yang di tanam oleh KWT. Sedangkan sampah-sampah seperti botol plastik atau yang dapat menjadi tempat bertanam dimanfaatkan untuk urban farming. Sampah-sampah tersebut dimanfaatkan sebagai hidropnik atau vertikultur sederhana.
Sampah plastik, kain sisa jahitan dan botol bekas dapat dimanfaatkan menjadi ekobrik. Dalam pembuatan ekobrik kominitas zero waste village mengajak anak-anak. Hal ini dikarenakan bahwa kepeduliaan akan sampah tidak hanya menjadi tanggung jawab orang dewasa, tetapi juga harus ditanamkan dalam pribadi anak-anak yang seyogyanya merupakan calon-calaon penerus bangsa.
Dini Hardilla mengatakan bahwa, anak terutama pada usia 3 – 12 tahun memliki banyak ruang pemikiran kreatif dan kepedulian yang tinggi, yang nantinya dapat dibentuk menjadi pribadi yang peduli akan lingkungan terutama kemampuannya dalam mengolah sampah. Hal ini nantinya akan menjadi investasi ke depan, yaitu generasi yang peduli sampah.
Selain itu, bagi anak-anak zaman now yang sangat lekat dengan gadget, dapat teralihkan aktifitasnya dengan hadirnya program peduli sampah ini, sehingga lebih bermanfaat. Hasil-hasil karya mereka ekobrik mereka dapat dimanfaatkan sebagai meja, kursi, hiasan taman ataupun dapat dimanfaatkan menjadi paping atau pengganti batu bata. Untuk menamhbah keindahan ekobrik, intalasi hidroponik dan vertikultur dapat di cat agar meningkatkan nilai pengelolaan sampah kota.
Kegiatan pengelolaan sampah ini harus dilakukan secara massif dan berkelanjutan, agar hasil dari pengelolaan sampah tersebut lebih bernilai dan menjadi nilai tambah untuk memperindah kota, sehingga Kota Bandar Lampung dapat menjadi kota yang layak huni dan sustainable city.(*)