Jejamo.com, Bandar Lampung – Memasuki usia ke-25 tahun, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang lahir pada 7 Agustus diharapkan tetap independen dan kritis serta istikamah dalam memperjuangkan hak-hak kebebasan pers.
“Harapannya, AJI tetap independen dan kritis. Selain itu, istikamah di jalan sunyi dalam memperjuangkan tiga isu utama, yaitu kebebasan pers, profesionalisme jurnalis, dan kesejahteraan jurnalis,” ujar Ketua AJI Bandar Lampung Hendri Sihaloho, Rabu, (7/8/2019).
Menurut Hendri, AJI memiliki salah satu pekerjaan rumah, yaitu terus menumbuhkan kepercayaan publik terhadap jurnalisme.
“Terlebih pada era sekarang, di mana informasi berseliweran di media sosial,” tuturnya.
Selain itu, dia menambahkan, AJI perlu terus mengawal perkembangan jurnalisme. Kemudian, mendorong media agar senantiasa memenuhi tujuan jurnalisme.
“Yakni menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup bebas dan mengatur diri sendiri. Selamat ulang tahun AJI,” pungkasnya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) lahir sebagai perlawanan komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan rejim Orde Baru. Mulanya adalah pembredelan Detik, Editor dan Tempo, 21 Juni 1994.
Ketiganya dibredel karena pemberitaannya yang tergolong kritis kepada penguasa. Tindakan represif inilah yang memicu aksi solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata di sejumlah kota.
Setelah itu, gerakan perlawanan terus mengkristal. Akhirnya, sekitar 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka menandatangani Deklarasi Sirnagalih.
Inti deklarasi ini adalah menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI.
Pada masa Orde Baru, AJI masuk dalam daftar organisasi terlarang. Karena itu, operasi organisasi ini di bawah tanah. Roda organisasi dijalankan oleh dua puluhan jurnalis-aktivis. Untuk menghindari tekanan aparat keamanan, sistem manajemen dan pengorganisasian diselenggarakan secara tertutup.
Sistem kerja organisasi semacam itu memang sangat efektif untuk menjalankan misi organisasi, apalagi pada saat itu AJI hanya memiliki anggota kurang dari 200 jurnalis.
Selain demonstrasi dan mengecam tindakan represif terhadap media, organisasi yang dibidani oleh individu dan aktivis Forum Wartawan Independen (FOWI) Bandung, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta (FDWY), Surabaya Press Club (SPC) dan Solidaritas Jurnalis Independen (SJI) Jakarta ini juga menerbitkan majalah alternatif Independen, yang kemudian menjadi Suara Independen. [Andi Apriyadi]