Jejamo.com – Jika disebut nama Kartini, rasanya semua orang tahu. Apalagi tanggal lahirnya, 21 April dijadikan Hari Kartini.
Namun, adalah di antara kita yang akrab dengan nama ini: Rohana Kudus. Kenal? Tahu? Atau baru pertama ini mendengar dan menbaca namanya.
Yuk kita simak perihidup perempuan wartawan pertama di Indonesia ini. Rohana Kudus lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 20 Desember 1884. Ia meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972, pada usia 87 tahun.
Rohana adalah wartawan Indonesia. Ayahnya bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibunya bernama Kiam. Rohana adalah kakak tiri Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia yang pertama.
Ia adalah mak tuo (bibi) dari penyair terkenal Chairil Anwar. Ia pun sepupu H. Agus Salim.
Rohana hidup pada zaman yang sama dengan Kartini, di mana akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi. Ia juga pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia.
Rohana tipikal perempuan yang mempunyai tekad kuat pada pendidikan, terutama untuk kaum perempuan. Ia punya prinsip, diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan, adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan.
Bermodal kecerdasan, keberanian, pengorbanan, serta perjuangannya, Rohana melawan ketidakadilan.
Rohana tidak mendapat pendidikan formal. Namun, ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor.
Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Pada usia belia, ia piawai membaca dan menulis. Abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu juga ia tekuni hingga menjadi mahir.
Ketika ayahandanya bertugas di Alahan Panjang, Rohana punya tetangga seorang pejabat Belanda yang juga atasan ayahnya. Dari istri pejabat itu, ia belajar menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda.
Rohana juga gemar membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan ala Eropa.
Ia menikah pada usia 24 tahun dengan Abdul Kudus yang berprofesi sebagai notaris. Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada 11 Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda.
Rohana menghadapi banyak rintangan demi mewujudkan cita-citanya. Ia berjuang menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang. Ia bahkan pernah difitnah. Namun, Rohana tegar.
Rohana juga bekerja sama dengan Pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan kebutuhan jahit-menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Ia menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor.
Sekolah Rohana kemudian berbasis industri rumah tangga dan koperasi simpan pinjam serta jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau.
Sepak terjangnya kemudian menjadi buah bibir di Belanda. Artikel soal dirinya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat.
Kemahirannya menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu pada 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan.
Pada 22 Oktober 1916, seorang muridnya yang telah didiknya hingga pintar, menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Rohana menghadapi beberapa kali persidangan. Tuduhan kepada Rohana tidak terbukti. Jabatan di sekolah Amai Setia diserahkan padanya. Namun, ia menolak dengan halus lantaran ingin hijrah ke Bukittinggi.
Di Bukittinggi, ia mendirikan “Rohana School”. Rohana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun.
Di Bukittinggi, Rohana memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir. Ia juga mendapat tawaran mengajar di sekolah Dharma Putra. Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.
Pada masa perjuangan, Rohana menulis tema politik yang membakar semangat juang pemuda. Dia juga menggulirkan ide penyelundupan senjata dari Kotogadang ke Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.
Saat menetap di Lubuk Pakam dan Medan, ia mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar radio yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat kabar Cahaya Sumatera.
Ia menerima penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974, pada Hari Pers Nasional ke-3, 9 Februari 1987. Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia. Pada 2008, pemerintah menganugerahkan Bintang Jasa Utama.(*)