
Anggriyani Wahyu Pinandari, peneliti RHS – UGM memaparkan hasil penelitian GEAS. | Ist.
Jejamo.com, Yogyakarta – Remaja laki-laki dinilai lebih rentan mengalami perundungan (bullying). Akibatnya, remaja laki-laki pun lebih tinggi gejala depresi dibandingkan remaja perempuan.
“Jumlah anak laki-laki yang mungkin mengalami lima atau lebih bentuk pengalaman masa kanak-kanak yang merugikan secara signifikan melebihi jumlah anak perempuan,” kata Anggriyani Wahyu Pinandari, peneliti Reproductive Health Centre Universitas Gajah Mada (RHS – UGM) saat memaparkan hasil penelitian pada pra Konferensi Internasional KB – Kespro di Hotel Sahid Jaya, Yogyakarta, Sabtu (28/9/2019).
Paparan tersebut adalah salah satu hasil dari penelitian Global Early Adolescent Study (GEAS) yang dilakukan RHS – UGM bersama Explore4Action Rutgers WPF Indonesia selama rentang satu tahun dari Juli 2018 – Juli 2019. Ada tiga lokasi yang diteliti yakni Bandar Lampung, Semarang, dan Denpasar.
Jumlah partisipan dalam penelitian ini mencapai 4684 remaja kelas VII sekolah menengah pertama yang terdiri dari 2477 remaja perempuan dan 2207 remaja laki-laki. Penelitian ini mengukur sejauh mana norma gender dan seksualitas dan hubungannya dengan berbagai ranah pada usia remaja dini
Anggriyani mengatakan, hasilnya penelitian ini pun mengejutkan. Dalam ranah lingkungan yang aman, perundungan dan kekerasan ternyata remaja laki-laki cenderung lebih rentan mengalaminya.
Pada ranah ini, sekitar 19,6 persen anak laki-laki dari partisipan merasa tidak aman atau terancam di sekolah. Sedangkan remaja perempuan hanya 15,0 persen.
Remaja laki-laki juga lebih banyak melaporkan bahwa mereka merasa tidak aman dengan lingkungannya sendiri, terutama oleh orang muda seumur mereka (27,1 persen) dibandingkan remaja perempuan (26,2 persen).
Kemudian remaja laki-laki juga cenderung lebih tinggi mengalami gejala depresi. Anggriyani mengatakan, hal ini terkait norma yang menyebutkan bahwa, misalnya, anak laki-laki tidak boleh menangis.
“Anak laki-laki juga lebih enggan mencari bantuan, karena norma gender yang menyatakan bahwa laki-laki itu harus tangguh,” katanya.
Anggriyani menambahkan, dampak norma gender ini tidak seperti yang selama ini dimitoskan, yakni hanya menimpa anak perempuan saja. Melainkan, anak laki-laki pun mengalami hal yang sama.
Terkait hal ini, Sexual and Reproductive Health Rights (SRHR) Program Coordinator Rutgers WPF Indonesia, Nur Jannah mengungkapkan, berbicara tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi menjadi sesuatu yang sangat sulit. Hal ini karena selalu berbenturan dengan nilai maupun norma yang ada di masyarakat.
Dia menambahkan, kesulitan itu semakin ditambah dengan tidak dilibatkannya kaum muda dalam membahas isu seksualitas ini.
“Jika berbicara seksualitas, selama ini selalu harus dihubungkan dengan orang dewasa. Terlalu banyak tabu untuk melibatkan kaum muda dalam konteks ini.” katanya. []