DENGAN adanya pemberlakuan lockdown dan social distancing di beberapa kota besar di dunia, ternyata muncul sebuah efek samping yang tidak diduga sebelumnya: tingkat polusi lingkungan di berbagai kota dunia menurun drastis.
Penelitian yang diadakan di New York bulan Maret yang lalu menyatakan bahwa tingkat polusi udara di Amerika saat ini bahkan menurun drastis hingga 50% dibandingkan tahun sebelumnya, sebagaimana dilansir oleh portal berita BBC
Dan dalam beberapa pekan ini pun netizen banyak terperangah dengan video-video yang beredar di berbagai kota di dunia.
Sungai yang makin jernih di Venice, langit biru cerah di Jakarta, maupun banyaknya hewan yang masuk ke area pemukiman dan perkotaan di Eropa.
Ini sbagai indikator bahwa lingkungan hidup telah mendapatkan banyak sekali manfaat dari surutnya aktivitas manusia belakangan ini.
Bagi para akademisi yang selama ini telah berdiskusi panjang lebar terkait usaha-usaha untuk mengurangi polusi lingkungan terutama di daerah perkotaan, fenomena ini bagaikan sebuah tamparan keras.
Bagaimana tidak, ternyata hanya dalam hitungan pekan sang corona virus telah mampu menyelesaikan pekerjaan rumah yang selama bertahun-tahun tidak juga dapat diselesaikan oleh para ahli dari berbagai universitas dan lembaga penelitian. Baik itu penelitian di bidang sosial maupun teknologi.
Di bidang teknologi, mari kita ambil contoh pengembangan teknologi mobil listrik sebagai pembanding. Mengapa?
Karena saat ini penyumbang emisi terbesar di perkotaan adalah emisi kendaraan, dan tingkat penjualan mobil pribadi dari tahun ke tahun terus naik bahkan di negara berkembang seperti Indonesia.
Karena itu, salah satu tren penelitian yang paling hangat dibicarakan di bidang teknologi untuk mengatasi permasalahan lingkungan adalah pengembangan dan pengadaan mobil listrik.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan pemberitaan tahun lalu (liputan6.com) pemerintah telah mentargetkan pengadaan 10 ribu mobil listrik hingga tahun 2025 yang akan datang.
Tentunya ini adalah salah satu program yang berorientasi pada lingkungan, terutama untuk mengurangi emisi di kota-kota besar di Indonesia.
Dan ternyata, kemampuan teknologi mobil listrik pun yang selama ini digadang-gadang menjadi salah satu solusi unggulan untuk mengurangi emisi kendaraan di perkotaan, ternyata masih kalah jauh dibandingkan efektivitas kerja virus kecil ini.
Dalam sebuah penelitian di Amerika yang dilakukan oleh National Renewable Energy Lab (NREL) di tahun 2017, ditemukan bahwa pemakaian mobil listrik dengan teknologi baterai (battery electric vehicle) mampu mengurangi emisi saat digunakan hingga 34% saja dibandingkan pemakaian kendaraan berbasis bahan bakar fosil.
Dan ini masih merupakan perhitungan per kendaraan. Artinya belum memasukkan perhitungan ongkos dan efek lingkungan yang disebabkan oleh pembuatan sarana pendukung keberadaan mobil listrik jika diluncurkan di tengah masyarakat.
Contohnya, pembangunan stasiun pengisian batere dan pembuatan bengkel-bengkel servis khusus kendaraan listrik.
Dan masih ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan oleh sebuah negara seperti Indonesia jika hendak mengadopsi teknologi mobil listrik secara besar-besaran: pengolahan fase akhir pemakaian produk (product’s end of life) yang benar-benar harus matang.
Sebab, jika tidak, pengadaan mobil listrik justru akan menjadi bumerang bagi ekosistem. Hal ini bisa terjadi jika limbah baterai mobil nantinya tidak terkelola dengan baik.
Sedangkan limbah baterai mobil sendiri sangat berbahaya terhadap lingkungan karena kandungan lithiumnya.
Namun perlu disampaikan pula bahwa saat ini sudah ada para akademisi Indonesia yang fokus untuk mengurusi masalah limbah baterai ini.
Antara lain adalah para peneliti dari fakultas teknik UGM, dan hasil penelitian mereka telah menuju titik terang yang siap diaplikasikan.
Dan tidak hanya sebatas pertimbangan teknologi, pengadaan mobil listrik juga masih menghadapi tantangan untuk menembus pasar masyarakat Indonesia yang sangat kritis terhadap harga.
Proses perubahan budaya berkendara dari kendaraan berbasis bahan bakar fosil menuju kendaraan listrik masih begitu panjang, sedangkan penderitaan lingkungan akibat emisi kendaraan sudah demikian kronis.
Sehingga walaupun menyadari berbagai keterbatasan ini, kebijakan pengadaan kendaraan listrik pun tetap ditempuh karena memang hampir tidak ada pilihan lain.
Di pihak yang lain, kembali ke bagian awal dari tulisan ini, virus corona telah membuktikan keperkasaannya dalam kemampuan menekan efek emisi kendaraan terhadap lingkungan di berbagai kota.
Begitu lemahnya teknologi buatan manusia di hadapan teknologi Allah, walaupun saat ini kita memang merasakan betapa pahitnya ‘obat lingkungan’ ciptaan Allah ini.
Pertanyaannya adalah mengapa bisa terjadi fenomena yang sedemikian? Jawabannya sederhana, yaitu karena virus corona telah menginjeksi tepat ke bagian yang paling sulit diobati dari permasalahan lingkungan yang ada: nafsu manusia yang terlalu besar.
Keberadaan teknologi seperti mobil listrik merupakan obat sementara bagi lingkungan, yang bisa jadi di masa yang akan datang justru memberikan akses lebih besar kepada manusia untuk mengobral nafsu yang lebih besar lagi.
Jika mobil listrik nantinya mampu untuk menjadi fasilitas bagi manusia untuk mencapai mobilitas yang lebih tinggi, walaupun dengan emisi yang lebih rendah namun dengan tingkat penggunaan yang lebih sering, maka niscaya tingkat emisi di dunia secara keseluruhan juga tidak akan turun.
Namun kita sebagai manusia pun menyadari bahwa mengontrol nafsu dan perilaku adalah salah satu hal yang paling sulit untuk dilakukan di dalam hidup kita, karena itulah penyiasatan dengan teknologi, seperti pengembangan mobil listrik, tetap dibutuhkan.
Hanya saja perkembangan teknologi tidak boleh melalaikan kita dari permasalahan lingkungan yang sebenarnya, yaitu nafsu manusia yang terlalu besar dalam mengeksploitasi lingkungan.
Demikianlah, mungkin untuk penyadaran inilah salah satunya virus corona dihadirkan di tengah-tengah kita hari ini, semoga kita segera tersadar. []
(Penulis adalah akademisi dan peneliti di bidang desain produk ramah lingkungan dari Universitas Lampung)