Eko Dedi Gunawan
Guru Sosiologi SMAN 1 Tanjungbintang Lampung Selatan
Kalangan pendidik pasti tidak lupa dengan berita tentang perjuangan murid SD Negeri Cicaringin 3, Kecamatan Gunung Kencana, Lebak, Banten yang menghiasi media beberapa tahun lalu. Berbagai media menceritakan perjuangan para murid yang harus meniti kabel baja untuk menyeberangi sungai Ciliman menuju sekolah. Berita ini bahkan menjadi perhatian dunia ketika Daily Mail menyebut jembatan tali baja tersebut sebagai “jembatan Indiana Jones”.
Berita “jembatan Indiana Jones” merupakan bukti kesenjangan pendidikan antara pusat dan pinggiran. Padahal sewaktu mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden RI, pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengajukan sembilan agenda prioritas yang terangkum dalam Nawa Cita. Nawa Cita diyakini akan mengantarkan Indonesia menjadi negara yang berdaulat, mandiri dan berbudaya.
Salah satu agenda prioritas tersebut adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Kata “pinggiran” memiliki dua makna, yaitu daerah 3T (tertinggal, terluar dan terpingir) dan masyarakat yang terpingirkan secara sosial dan ekonomi. Pembangunan juga memiliki pemahaman yang luas, yakni membangun gedung/infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia.
Namun, membangun dari pinggiran tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Sebagai negara yang memiliki 17.499 pulau dan luas daratan sekitar 2,01 juta km² dan lautan mencapai 3,25 juta km², dibutuhkan dana yang sangat besar untuk membangun infrastruktur di daerah, khususnya sekolah.
Sayangnya jumlah sekolah di negeri ini tidak sebanding dengan jumlah murid. Dalam Ikhtisar Data Pendidikan Tahun 2016/2017 yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbu) RI, disebutkan jumlah sekolah mencapai 302.097 unit, terdiri dari 168.578 sekolah negeri dan 133.519 sekolah swasta. Sedangkan jumlah siswa mencapai lebih dari 49,833 juta jiwa. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bahkan menyebutkan jumlah anak usia 7-15 tahun yang bersekolah, mencapai lebih dari 63,546 juta jiwa dan 1,755 juta jiwa anak tidak bersekolah.
Ketimpangan pendidikan ini harus segera diatasi. Jika kesenjangan pendidikan antara pusat dan daerah dibiarkan, akan berdampak pada kualitas sumber daya manuasia Indonesia. Padahal, anak-anak tersebut merupakan penerus bangsa.
Pemerintah melalui Kemendikbud sebenarnya telah berupaya mengatasi masalah ini. Sayangnya, karena keterbatasan dana dan sumber daya manusia, permasalahan pendidikan belum juga usai. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk membangun pendidikan di daerah.
Pertama, pemerintah telah mengalokasikan dana yang cukup besar untuk sektor pendidikan. Pada APBN 2018, dari total belanja Rp 2.200 trilun, alokasi untuk bidang pendidikan mencapai Rp 444,131 triliun. Pendidikan mendapatkan alokasi dana terbesar dalam pembangunan. Namun, karena luasnya wilayah dan sulitnya medan, dana yang besar ini masih terasa kurang.
Untuk ke depannya, sebaiknya pemerintah tetap mengalokasikan dana yang besar untuk pendidikan. Tidak hanya menunaikan amanat alokasi dana pendidikan sebesar 20%, namun besarnya dana/anggaran pendidikan muncul dengan kesadaran bahwa pendidikan merupakan investasi terbaik pembangunan. Jangan sampai, bangsa kita justru menjadi penonton dalam pembangunan.
Kedua, mengirimkan tenaga pendidik ke daerah. Guru memiliki peran penting untuk memperkecil kesenjangan pendidikan antara pusat dan daerah. Pada tahun lalu, Kemendikbud mengirimkan sebanyak 6.296 guru garis depan ke 183 kabupaten/kota. Guru-guru tersebut akan bertugas di daerah 3T. Pengiriman guru ke daerah bukanlah program baru. Kegiatan serupa kerap dilakukan. Sayangnya banyak guru yang kemudian mengajukan pindah kembali ke pusat setelah beberapa waktu.
Ke depannya, program ini sebaiknya diteruskan, tentunya dengan sejumlah perbaikan. Untuk memperkecil peluang guru mengajukan pindah, pemerintah dapat mengajukan perjanjian terlebih dahulu. Guru harus menyelesaikan tugas mengajar di daerah selama periode tertentu, seperti 2-3 tahun. Jika masa kerja selesai, guru tersebut dapat berhenti atau melanjutkan kembali dengan ketentuan kerja yang baru. Karena tugasnya yang berat, tunjangan untuk guru yang mengajar di daerah 3T harus lebih besar daripada guru yang mengajar di perkotaan. Meski bukan berstatus sebagai PNS, namun pemerintah tetap menjamin kesejahteraannya selama terikat kerjasama.
Ketiga, mengembangkan teknologi informasi internet. Saat ini, teknologi informasi sudah menjadi keharusan. Berbagai informasi dapat diakses melalui gawai. Mudah dan cepat. Asosiasi Penyelengara Jaringan Internet Indonesia (APJII) bekerjasama dengan Teknopreneur Indonesia, menyebutkan pada tahun lalu, sekitar 143,3 juta atau 54,7% jumlah penduduk Indonesia telah terhubung ke internet.
Sayangnya pengguna internet masih didominasi masyarakat perkotaan. Sekitar 58,1% pengguna internet berada di Jawa. Diikuti Sumatera 19%, Kalimantan 8%, Sulawesi 6,7%, Bali-Nusa Tenggara 5,6% dan Maluku-Papua 2,5%.
Kemendikbud mencatat baru 63,4% sekolah di daerah 3T yang terkoneksi internet. Untuk tahun selanjutnya, Kemendikbud harus terus berkerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) membangun jaringan internet di sekolah. Pada tahun lalu 659 sekolah diusulkan menerima bantuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Internet sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah 3T. Siswa dan guru bisa mengakses informasi dan peristiwa terbaru tanpa batas. Siswa dapat belajar dan mengerjakan tugas dengan mudah. Selain itu, internet juga dapat menjadi sumber hiburan.
Tentu saja. Penggunaan internet di sekolah menjadi tanggung jawab guru. Pembatasan ini untuk mencegah siswa mengakses situs yang tidak layak atau membahayakan.
Apalagi diperkirakan proyek Palapa Ring akan rampung pada 2019. Semakin banyak sekolah di daerah 3T yang dapat terkoneksi dengan internet. Internet cepat dan murah, sudah sewajarnya ikut dirasakan siswa di perkotaan dan daerah.
Keempat, mengandeng kementerian/institusi lainnya untuk menyediakan pendidikan di daerah 3T. Tidak hanya Kemendikbud, Kementerian Agama (Kemenag) juga mengirimkan guru pendikan agama ke daerah. Pada tahun lalu, Kemenag mengirimkan 101 guru ke daerah terpencil. Sedangkan TNI, melalui program Tentara Manunggal Masuk Desa (TMMD), juga memiliki satgas yang mengajar di sekolah di daerah 3T. Karena para tentara tersebut memang tidak memiliki basis guru, tentu pelajaran yang diberikan adalah tentang dasar negara.
Agar lebih optimal, Kemendikbud dapat memberikan pelatihan singkat kepada tentara yang akan menjadi satgas mengajar, tentang beberapa pengetahuan dasar dari berbagai ilmu. Berbagai teori fisika dan kimia, dapat dilakukan dalam bentuk permainan. Materi inilah yang disampaikan kepada anggota TNI sebelum mereka menjalankan program TMMD. Diharapkan saat mengajar di sekolah-sekolah tersebut, satgas dari TNI dapat memberikannya kepada siswa.
Kelima, melibatkan masyarakat. Mustahil pemerintah dapat menyelesaikan sendiri seluruh permasalahan. Masyarakat harus diberdayakan agar dapat mandiri dan mendukung pembangunan di daerah, terutama pendidikan.
Di Lampung terdapat gerakan motor pustaka yang digagas Sugeng Haryono. Di waktu senggang, penambal ban tersebut akan berkeliling di sekitar wilayahnya, membawa buku yang dapat digunakan. Semangat Sungeng Haryono menular kepada warga lainnya. Di Lampung, kini terdapat sepeda matic pustaka hingga perahu pustaka.
Pustaka bergerak mempermudah anak-anak dan warga di daerah untuk mendapatkan buku. Karena untuk mendapatkan buku, anak-anak harus pergi ke pusat kota yang jaraknya cukup jauh. Belum lagi harga buku yang terlalu mahal untuk warga berpendapatan kecil.
Puncak dari gerakan pustaka bergerak adalah dijadikannya Desa Pasuruan, Penengahan, Lampung Selatan menjadi kampung literasi. Sebagai kampung literasi, di setiap rumah terdapat perpustakaan kecil. Selain itu, di kampung juga terdapat jam tertentu dimana anak-anak harus belajar. Semangat untuk memperbaiki diri juga menular ke Jabung, Lampung Timur. Bahkan, Jabung yang dicap sebagai sarang begal juga memilik Perpustakaan Anak Bangsa, sebagai upaya untuk memperbaiki masa depan anak-anak di Jabung.
Contoh terlibatnya masyarakat dalam pendidikan adalah didirikannya Does University oleh musisi Erix Soekamti. Tidak hanya mendirikan, pentolan band punk, Endank Soekamti ini bahkan sampai mencari siswa untuk sekolah animasinya hingga ke Kampung Waweyai, Papua.
Ibarat makan, tentu kita memulai menyantap makanan dari pinggir terlebih dahulu. Membangun dari pinggir tentu bukan perkara mudah. Dibutuhkan program yang tepat dan koordinasi semua pihak, tidak hanya pemerintah tapi juga masyarakat untuk mewujudkannya. Hal inilah yang sedang diupayakan pemerintah dan masyarakat harus mendukungnya. Tujuannya agar seluruh bangsa baik di pusat dan daerah, dapat menikmati hasil pembangunan sekaligus menjadi negara yang bermartabat.(*)