Jejamo.com, Bandar Lampung – Puluhan mahasiswa IAIN Raden Intan, Bandar Lampung menggelar aksi demo di Tugu Adipura, Bandar Lampung atas wafatnya demokrasi di kampus tersebut.
Dalam menjalankan aksi ini, para peserta menutup mulut dengan menggunakan lakban, membawa keranda mayat dan kerangkeng yang didalamnya berisi dua orang mahasiswa, dan mengelilingi tugu Adipura sebanyak dua kali,
Korlap Aksi, Pupung mengatakan bahwa para peserta aksi menutup mulut dengan menggunakan lakban sebagai simbol bahwa mahasiswa telah dibungkam suaranya untuk menyuarakan aspirasinya dikampus sendiri.
Sedangkan kerangkeng yang didalamnya berisi dua orang mahasiswa menyimbolkan, mahasiswa IAIN Raden Intan, Bandar Lampung yang menyuarakan aspirasinya di kampus sendiri beberapa waktu lalu, tiba-tiba diangkut oleh Polresta Bandar Lampung yang disuruh oleh pihak kampus.
“Alhamdulillah 16 mahasiwa yang ditangkap sekarang sudah bebas,” katanya saat diwawancarai Jejamo.com di Tugu Adipura, Bandar Lampung, Sabtu, 7/5/2016.
Sedangkan keranda mayat sendiri menyimbolkan mahasiswa IAIN Raden Intan, Bandar Lampung yang menyuarakan apa yang menjadi haknya, kemudian dibelokan oleh birokrat dengan melakukan penyegelan UKM SBI karena dianggap oleh kampus sebagai propokator ataupun pemberontak saat melakukan aksi beberapa hari lalu.
“Makanya UKM SBI dibekukan. Sebenarnya, aksi beberapa hari lalu itu merupakan aspirasi dari seluruh mahasis IAIN Raden Intan, Bandar Lampung, bukan suara dari UKM SBI saja,” ujarnya.
Selanjutnya, makna dari memutari tugu Adipura sebanyak dua kali agar masyarakat tahu kalau kampus IAIN Raden Intan Bandar Lampung telah terjadi pembodohan mahasiswa. Aksi ini merupakan bentuk kekecewaan mahasiswa karena pihak kampus telah melakukan pembungkaman demokrasi ke mahasiswanya.
“Aksi di hari pengangkutan beberapa mahasiswa UKM SBI, saat berbicara masalah pungli masjid. Kemudian, pihak kampus melakukan pembekuan secara langsung. Itu kan sistem rezim orde baru, siapa yang melawan itu dibunuh. Maka dari itu aksi yang dilakukan mahasiswa hari ini untuk melawan Rektor yang Diktator,” tandasnya.
Lebih jauh Pupung menjelaskan pola represitifitas ala rezim orde baru telah muncul kembali dengan kecenderungan penguasa yang menghalalkan segala cara guna menghentikan setiap adanya gerakan kritis.
“Kami UKM- SBI dilarang untuk berkarya, kebebasan untuk bergerak telah dirampas oleh birokrat kampus yang gelap mata,” kata Pupung.
Ia menjelaskan, pembekuan tersebut terkait adanya aksi protes oleh UKM SBI kepada birokrat kampus telah menyalahi aturan melakukan pungli masjid berkedok infak dan sedekah dengan nominalnya telah ditentukan serta pemberlakuan uang kuliah tunggal (UKT) yang tidak semestinya.
” Respon dari birokrasi adalah membungkam aspirasi kami dengan mengeluarkan SK Rektor nomor 201 tahun 2016 tentang pembekuan UKM-SBI. Tidak hanya itu, penyegelan paksa dan kriminalisasi terhadap 16 mahasiswa yang melakukan unjuk rasa didepan kampus menjadi cerminan telah matinya demokrasi dikampus tersebut,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Pihaknya menuntut agar Rektor IAIN Raden Intan, Bandar Lampung mencabut SK nomor 201 tahun 2016 dan mengembalikan hak UKM Seni Budaya Islam (SBI).
Kemudian, lanjut dia, pihaknya menolak keras setiap tindakan represifitas dan menghentikan tindakan pembrangusan kreatifitas mahasiswa oleh Rektorat.
” Pihak Rektorat juga harus meminta maaf ke seluruh masyarakat Lampung, baik secara tertulis ataupun lisan atas tindakan yang tidak menyenangkan terhadap massa aksi. Pihak Rektorat juga harus mengembalikan nama baik terhadap 16 masa aksi yang diamankan polisi,” tandasnya(*)
Laporan Arif Wiryatama, Wartawan Jejamo.com