Jejamo.com, Bandar Lampung – Di daerah Rajabasa, persis di seberang Jalan Kapten Abdul Haq, terdapat jalan H Komarudin. Jalan ini ada sejak zaman Wali Kota Bandar Lampung Suharto di era 1990-an.
Jalan yang berujung di daerah Bataranila, Natar, Lampung Selatan itu, kini ramai di kanan kiri. Ada pintu samping Polinela di jalan itu. Aktivitas perniagaan di kiri dan kanan jalan itu juga padat.
Ada banyak penjual makanan di sepanjang jalan plus minus 2 kilometer itu.
Namun, tahukah kita, siapa H Komarudin itu?
Nama jalan tersebut sejatinya Kamaroeddin.
Kamaroeddin Gelar Soetan Ratoe Agoeng Sempoernadjaja adalah pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia.
Pria kelahiran Negara Batin, Sungkai, Lampung Utara, pada 1910 ini adalah pelopor pers di Lampung.
Iskandar Kamaroeddin, salah seorang anak Kamaroeddin, semasa masih hidup, banyak bercerita tentang sosok Papi Kamaroeddin ini.
Iskandar sendiri sudah berpulang ke Rahmatullah beberapa tahun yang lalu.
Pada usia muda, Kamaroeddin dipercaya Pemerintah Kolonial Belanda mengangkatnya sebagai pegawai di Tulangbawang. Tahun 1927, Kamaroeddin dibawa asisten demang pindah ke Natar. Di sini Kamaroeddin menjadi ajunct djaksa sebagai tukang periksa perkara.
Kamaroeddin disukai karena pandai, rajin membaca, dan gemar berdiskusi.
Pada masa inilah Kamaroeddin rajin menulis tentang banyak hal dan dimuat di surat kabar Malang. Ia juga membuat taman bacaan untuk pemuka masyarakat agar bertambah pengetahuannya.
Dalam buku Titian Pers Lampung, Etos Perjuangan di Tanah Tapis karya PWI Lampung, ditulis bahwa Kamaroeddin memutuskan berhenti dari pegawai pemerintah dan bergabung dengan PNI-nya Bung Karno di Bandung.
Di sanalah Kamaroeddin makin terpatri kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia dan Bung Karno berkawan karib.
“Bahkan Papi sempat diminta menjualkan emas Ibu Inggit, istri Bung Karno, sebagai modal perjuangan,” kata almarhum Iskandar Kamaroeddin beberapa tahun lalu kepada penulis.
Kamaroeddin kemudian menekuni jurnalistik di Persbureauw NERA di Batavia. Ia juga membantu surat kabar Utusan Sumatera dan Pewarta Deli. Sempat ditahan Belanda karena artikelnya, Kamaroeddin kemudian mendapat amanat menjadi hoofd redakteur Fadjar Sumatera.
Itu sesuai pula dengan keinginan Bung Karno yang memintanya terus berjuang di ranah jurnalistik.
Kamaroeddin lalu memimpin harian Fadjar Sumatera dan Lampung Review.
Semasa Residen Lampung Mr Gele Harun, Kamaroeddin menjabat Kepala Biro Politik di Kantor Residen Lampung.
Kamaroeddin wafat pada 22 Maret 1985. Ia meninggalkan 8 anak, 4 laki-laki, 4 perempuan.
Kamaroeddin dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjungkarang.
Dalam buku Titian Pers Lampung itu, nama Kamaroeddin ditulis pada orang pertama yang merintis pers di Lampung. Setidaknya berdasar catatan sejarah yang ditemui tim penulis buku ini.
Nama Kamaroeddin sejak 2008 diabadikan sebagai nama penghargaan yang diberikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung.
Penghargaan Kamaroeddin diberikan kepada orang atau lembaga yang punya kontribusi besar terhadap jurnalisme dan demokrasi di Lampung. [Adian Saputra]