Siapa di antara kita yang tak pernah marah? Barangkali banyak di antara kita yang pernah marah. Mungkin juga sering marah. Atau malah nyaris setiap hari marah.
Marah itu sifat yang manusiawi karena manusia pada hakikatnya juga punya kans berbuat salah. Marah salah satunya.
Ada banyak alasan kenapa orang kemudian marah. Seorang ayah marah melihat anak-anaknya nakal. Seorang pimpinan marah karena kinerja anak buahnya mengecewakan. Seorang pelatih marah karena tim yang ia asuh kalah dalam pertandingan.
Karena ia sifatnya manusiawi, dalam konteks ini, wajar kalau suatu waktu manusia itu marah. Namun, marah yang menjadi kepribadian tentu sangat disayangkan. Maka itu, mari kita tempatkan marah pada posisi yang proporsional.
Marah lantaran kita kecewa suatu pekerjaan hasilnya tidak bagus, bagi saya pribadi adalah hal yang wajar. Marah yang ditunjukkan pimpinan boleh jadi sebuah bentuk pertanggungjawaban dia. Masalahnya adalah apakah kita pandai mengelola emosi, mengelola kemarahan itu.
Momentum Ramadan mengajarkan kita agar bisa mengendalikan hawa nafsu. Salah satunya marah. Dalam puasa, kita dilatih untuk menahan marah, menahan emosi, mengendalikan jiwa. Tapi sejujurnya, kita sulit untuk melakukan itu. Meski demikian, ikhtiar kita agar menahan marah wajib diupayakan agar kita tidak menjadi pribadi yang pemarah.
Banyak pimpinan pemerintahan sering melakukan inspeksi mendadak atau sidak. Lazimnya sidak, waktunya tidak ditentukan. Maka, acap kita jumpai, ketika sidak, pimpinan marah-marah karena melihat kinerja anak buahnya yang bobrok. Kita mungkin pernah melihat di televisi dan internet, ada beberapa kepala daerah yang marah-marah saat sidak.
Bagi saya, itu wujud tanggung jawab mereka atas tugas yang diemban. Sekaligus memberikan pemahaman kepada para staf agar bisa bekerja lebih baik.
Secara pribadi, bisa dibilang, penulis tak pernah sidak. Kalau hendak mengetahui detail kinerja bawahan, semasa menjadi gubernur Lampung–kini nonaktif lantaran menjadi kontestan Pilgub Lampung–saya justru memberitahukan kepada sebuah instansi bahwa saya akan datang.
Kalau kita sidak, secara psikologis, anak buah ingin terlihat apa yang ia kerjakan sudah maksimal. Jika perlu, tak ada secuil pun noda dalam layanan yang diberikan kepada masyarakat.
Kerugian sidak adalah pemimpin tidak tahu apa yang mereka butuhkan, apa yang mereka mau, apa yang mereka akan kerjakan. Kenapa begitu? Sebab, posisi mereka tertekan dan lazimnya sidak selalu ingin mencari sisi yang lemah.
Ketimbang sidak semacam itu, penulis biasanya menginformasikan bahwa kami hendak di instansi itu dan semua pegawai harus datang. Maka saat bertahap muka, saya bisa bertanya kepada mereka, apa yang menjadi kendala selama ini, apa yang mereka tuntut dari saya sebagai pimpinan, apa yang akan menjadi kekurangan dan hendak dimintakan kepada saya. Semua akan bicara, semua akan memberikan masukan, dan sebagai pimpinan kita akan mengetahui persis seperti apa kinerja mereka di lapangan.
Jadi, kalau sidak kita hanya mengetahui sedikit hal dari yang hendak kita tinjau, tapi dengan bertemu langsung tanpa ada kosakata sidak, semua akan lugas bicara dan saya akan memperhatikan dengan baik.
Dalam konteks kolom sederhana ini, hal yang dilakukan itu cenderung meminimalkan peluang pimpinan menjadi marah. Jika sidak dan marah-marah, hal yang diketahui pimpinan akan sedikit. Sebab, para bawahan tak akan mau mengaku pada hal apa saja mereka kurang.
Namun, jika dilakukan kunjungan biasa tanpa ada embel-embel sidak, bahan yang akan kita dapatkan semakin banyak. Dan itu berguna untuk mengambil keputusan terhadap objek yang didatangi. Dan sudah tentu, masih dalam konteks tulisan ini, marah bisa diminimalkan. Emosi terkendali, anak buah tidak kecewa karena dimarahi, dan yang terpenting, kita mendapat banyak data di lapangan. Itulah mengapa, sidak cenderung kami hindari demi menjaga harga diri bawahan.
Puasa mengedukasi kita agar menghindari marah. Para ulama memberikan panduan jika kita hendak marah. Jika kita berdiri, segera duduk. Atau saat kita marah dalam posisi duduk, sebaiknya berdiri. Perubahan posisi tubuh memungkinkan ada perubahan pada darah. Jika masih mau marah, ambil air wudu. Air wudu akan mendinginkan darah. Jika sudah wudu masih mau marah, salat dua rekaat dan ditambah istigfar.
Sistematisnya agama dalam hal menjaga kita agar tak marah itu luar biasa. Wajar kalau dalam sebuah hadi, disebutkan Nabi Muhammad saw pernah memberikan petuah. “Engkau jangan marah” (Hadis Riwayat Bukhari).
Mari kita jadikan Ramadan ajang melatih hawa nafsu, salah satunya menghindari benar marah. (*)