Jejamo.com – Tak seperti dulu, di era sekarang dimana hampir semua handphone smartphone sudah memakai baterai jenis lithium-ion maka charging bisa dilakukan kapan saja.
Namun, baterai lithium-ion pada gadget modern dibekali mekanisme perlindungan terhadap overcharge alias kelebihan pengisian mekanisme.
Mereka akan memperlambat kecepatan charging saat kapasitas yang terisi sudah melewati batas-batas tertentu supaya pengisian daya bisa lebih mudah dihentikan ketika baterai sudah menjelang penuh.
Maka dari itu ada waktu tertentu ketika proses charing bisa menyerap daya secara maksimal, yakni saat baterai sudah hampir kosong saat mulai diisi kembali.
Setidaknya itulah yang disebutkan oleh seorang teknisi bernama Mark Carlson dari Motorola. “Secara umum, sebuah baterai bisa menerima charging rate yang lebih tinggi saat sisa kapasitas dayanya sudah rendah, ketimbang masih tinggi,” ujar Carlson sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
“Jadi, baterai yang sisanya tinggal 10 persen biasanya bisa lebih cepat diisi ketimbang saat sisa dayanya masih 50 persen,” imbuh dia.
Biasanya, fenomena di atas bisa diamati ketika baterai sudah hampir full. Ketika kapasitas sudah berada di kisaran 90 persen, penambahan persentase bakal berlangsung lebih lambat ketimbang sebelumnya.
Tentu, kecepatan pengisian baterai bergantung pula pada faktor-faktor lain, seperti jenis smartphone dan kemampuan charger yang dipakai.
Sebuah ponsel dengan kapabilitas quick charge, misalnya, bakal kesulitan mengisi baterai dengan cepat apabila dipasangkan dengan charger yang tidak mendukung fitur serupa.
“Jadi, meskipun pengisian bisa lebih cepat saat sisa kapasitas baterai tinggal sedikit, hardware dan software di dalam sistem charging perlu mendukung juga,” kata Carlson.(*)