“The great aim of education is not knowledge but action.” Herbert Spencer (1820-1903)
MENYEBARKAN informasi seputar Covid 19 (corona virus desease 2019), yang dilakukan banyak orang via media sosial, sama pentingnya dengan (konten) informasi tentang Covid 19 itu sendiri.
Informasi (yang benar) membuat orang teredukasi dan karenanya bisa menjaga diri ,serta mengatur hidupnya terkait penyebaran virus mematikan yang sudah menjadi pandemi global tersebut.
Namun ada yang tak kalah penting, bahkan mungkin lebih penting ketimbang (sekadar) menyebarkan informasi seputar Covid 19.
Apa itu? Berpikir, bersikap dan berperilaku yang tepat agar terhindar, agar tidak terpapar, dan tidak menjadi bagian dari mata rantai penyebaran Covid 19.
Sikap dan perilaku yang tepat dari setiap individu akan sangat menentukan besar kecilnya eskalasi penetrasi Covid 19 di suatu wilayah.
Sebagai masyarakat, sikap dan perilaku serius menghadapi penyebaran Covid 19 setidaknya dengan menaati anjuran _social distancing_ yang antara lain berupa:
1. Tidak keluar rumah
2. Tidak bersalaman, atau cipika cipiki
3. Menjaga jarak (setidaknya satu meter)
4. Menghindari kerumunan/keramaian
5. Sering-sering cuci tangan pakai sabun
6. Memakai masker
Wabah corona memasuki fase semakin serius, di dunia, juga di Indonesia. Hal yang beberapa bulan lalu kita cuma tonton beritanya di televisi, layaknya film horor dengan latar Negeri Tirai Bambu, hari ini sudah tiba di rumah kita: Indonesia.
Corona bukan lagi noktah kecil nun jauh di seberang samudera. Ia bukan lagi layaknya sinetron sarat drama, tapi telah nyata, benar terjadi di depan mata.
Ini situasi yang serius. Sangat serius, dan kita di mana pun berada di belahan Tanah Air ini tidak terkecualikan dari situasi serius tersebut.
Lalu, apakah pikiran, sikap, dan perilaku kita sudah sama seriusnya dengan kondisi ekstra serius tersebut.
Corona sudah sangat dekat, mungkin sudah di ujung hidung. Tapi, rasanya sikap dan perilaku sebagian dari kita masih demikian santuy meresponsnya.
Ini ironi. Meski saban hari membaca/menonton berita, bahkan ikut menyebarkan berbagai konten ihwal corona via media sosial, banyak dari kita yang masih bersikap dan berperilaku seolah-olah Covid 19 masih jauh. Seolah ia masih nongkrong di Cina, seperti empat, tiga, dua, atau satu bulan lampau.
Virus ini tidak kasat mata. Ia lebih gawat dari hantu. Hantu, apa pun jenisnya, masih bisa dilihat oleh orang dengan kesaktian tertentu.
Kita tidak pernah tahu apakah orang yang hari ini kita temui, yang kita ajak ngobrol, terinfeksi corona atau tidak.
Orang yang dalam tubuhnya mengendap corona bisa terlihat biasa-biasa saja, sehingga kita tidak tahu bahwa ia sudah terinfeksi.
Orang yang sudah terinfeksi pun bisa sama sekali tidak ngeh dirinya menjadi carrier (pembawa virus) karena tidak menunjukkan gejala apa pun. Tubuhnya bugar, fisiknya pun prima.
Fakta, data, informasi, tips, dan imbauan seputar Covid-19 sudah demikian massif dan saban hari berseliweran di layar _gadget_ kita, termasuk soal _social distancing._
Pertanyaannya, apakah kita sudah secara disiplin menerapkannya?
Mari lihat sejumlah fakta.
Hari Jumat lalu masih banyak muslim yang mengabaikan imbauan untuk tidak jumatan di masjid. Padahal imbauan disampaikan pemerintah (umara), banyak pemuka agama (ulama), serta para ahli/ilmuwan yang kompeten, lengkap dengan seabrek alasan, dalil dan argumentasi.
Sehari sebelumnya, di NTT, meski sudah diimbau BNPB dan otoritas setempat untuk ditunda, penahbisan Uskup Ruteng tetap digelar. Acara ini dihadiri ribuan tamu undangan dan jemaat umat katolik yang datang dari berbagai wilayah.
Di banyak kota, tak sedikit pegawai yang tidak masuk kantor malah kongkow-kongkow berkelompok di kafe.
Mahasiswa/pelajar yang diliburkan malah pergi cuci mata di mal-mal. Anak-anak yang tidak sekolah, malah diajak/mengajak orangtuanya jalan-jalan ke pantai yang ramai.
Ayolah…Anda tidak akan terhindar dari sergapan corona hanya karena rajin membagikan status di medsos, tapi tetap kelayapan ke mana-mana, dan berkumpul di mana-mana.
Jika Anda mendapat sebuah konten soal corona, baca, lalu pahami isi dan maknanya. Jika Anda anggap bagus, baca sampai habis, jangan cuma judulnya.
Silakan kalau mau menyebarkan, tapi pastikan itu bukan hoax.
Setelah itu, pada akhirnya, yang jauh lebih penting adalah Anda bisa bersikap dan berperilaku yang tepat, selaras dengan informasi yang Anda baca.
Jangan sampai tiap hari buat status soal corona, sebarkan aneka konten tentang corona, tapi masih bikin acara ulang tahun, mengundang banyak orang ke rumah, orgenan, joget-joget dari siang bolong sampai langit gelap.
Bolak balik minta pemerintah terapkan lock down tapi diimbau jumatan di rumah pun merengkel dan ngeromet tidak habis-habis.
Ayo diam di rumah. Dua, tiga, atau beberapa minggu. Berat, tidak enak, bosan…buntu…itu benar. Tapi tahan saja dulu. Toh, tidak selamanya.
Seraya terus mengapungkan doa, mari berharap kondisi ini segera berakhir dan kita bisa melewatinya dengan selamat, sehat walafiat.
Setelah _pagebluk_ ini usai, kita ngopi-ngopi lagi. Saya janji. Tapi..tetap kamu yang traktir ya.(*)