“Barangsiapa menyelamatkan satu nyawa, ia menyelamatkan seluruh kehidupan.”
BEBERAPA hari lalu di media sosial saya melihat sebuah video. Isinya, dua orang yang sedang melakukan video call. Seperti obrolan umumnya hari-hari ini, mereka membahas tema tunggal: wabah virus corona (Covid 19).
Pada satu bagian, salah satu figur dalam video bercerita tentang seseorang yang menjadi penyelamat ribuan nyawa dalam Perang Dunia II.
Tak habis menontonnya, tapi saya maklum siapa sosok yang diceritakan: Oskar Schindler.
Siapa Oskar? Oskar adalah pengusaha berkebangsaan Jerman yang dikenang karena tindakan luar biasanya menyelamatkan seribuan orang dari holocaust pada PD II. Berkat Oskar, sekira 1.100-1.200 orang Yahudi di Polandia luput dari pembantaian di kamp Plaszow, lalu Auschwitz, dan lainnya.
Tindakan Oskar beradu punggung dengan kebijakan Nazi, partainya sendiri, yang seraya melakukan Aryanisasi, menganggap Yahudi sebagai ras yang harus dienyahkan.
Oskar menyelamatkan orang-orang tersebut dengan mempekerjakan mereka di pabrik alumuniumnya. Pabrik Oskar, Emilia, menjadi suaka, bahkan “surga”, bagi para pekerjanya.
Di luar sana, dari ghetto di Krakow hingga kamp konsentrasi Plaszow, ancaman kematian dan letusan pistol para serdadu Jerman setiap saat mengintai. Saat itu, nilai selembar nyawa bahkan lebih murah daripada sepotong roti.
Oskar harus menyogok dan mengeluarkan uang sangat banyak untuk mendapatkan buruh-buruhnya, meski banyak dari mereka yang sejatinya tak cakap bekerja.
Oktober 1944, di ujung perang, saat Jerman tengah menatap kekalahan dan mulai membunuhi jutaan Yahudi di kamar-kamar gas, Oskar memindahkan lebih seribu buruhnya ke pabrik lain di Brünnlitz, Sudetenland.
Bersama akuntan sekaligus manajer pabrik, Itzhak Stern Oskar menyusun daftar nama buruh yang akan dibawa.
Ribuan orang tersebut tidak diperolehnya dengan gratis. Lagi-lagi Oskar harus menyogok perwira-perwira SS dengan uang yang kian menipis hingga keping-keping terakhirnya.
Nyatanya, pengorbanan Oskar lebih dari sekadar sepadan. Para buruh dalam Schindler List’s menjadi bagian terbesar dari hanya sedikit Yahudi-Polandia yang selamat seusai perang.
Setelah PD II berakhir, Oskar pindah ke Argentina dan kemudian kembali ke Jerman pada 1958. Ia wafat dalam keadaan miskin dan hampir tak dikenal di Hildesheim, Jerman, pada usia 66 tahun, 9 Oktober 1974.
Kecuali sedikit orang, dunia tidak mengetahui kisah Oskar dan pekerja Yahudinya. Sampai kemudian pada 1993 sutradara Steven Spielberg mengangkatrnya ke layar lebar.
Berjudul Schindler’s List, film ini mengadaptasi buku Tom Keneally berdasarkan penuturan Poldek Pfefferberg, seorang Yahudi-Polandia yang selamat dari holocaust.
Sosok Oskar Schindler dimainkan dengan gemilang oleh aktor Liam Neeson. Pada Academy Award 1994, Schindler List’s memborong tujuh piala Oscar, termasuk untuk film dan sutradara terbaik. Oscar untuk Oskar.
Di Indonesa, pada masanya, film ini dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru. Konon, ihwal “eksploitasi” Yahudi dan Nazi menjadi musabab pelarangan. Untuk menontonnya, pecinta film harus mendapatkan versi bajakannya.
Saya pertama kali menonton Schindler List’s pada 1999 atau 2000. Ini merupakan satu dari hanya dua film yang mampu memaksa saya menangis.
Adegan yang paling mengharukan adalah ketika di akhir perang Oskar harus pergi meninggalkan pabrik dan ribuan buruhnya. Sudah demikian banyak nyawa yang diselamatkan, Oskar bahkan tetap merutuki diri. Menurutnya, masih beberapa orang lagi yang seharusnya bisa dibawanya ke Brünnlitz dengan ditukar pin Nazi dan mobil Mercedes-nya.
***
Sekarang April. Bulan saat Oskar Schindler dilahirkan pada 1908 di Zwittau, Bohemia–dulu Austria-Hongaria, kini Republik Ceko.
Hari-hari di kelimun badai Covid 19 ini saya teringat Oskar. Saya baca kembali artikel-artikel tentangnya. Kemarin, saya tonton ulang Schindler List’s. Setelah bertahun-tahun, saya masih terjebak dalam keharuan yang sama.
Hari-hari di tengah bencana global ini, saya mengenang Oskar. Hari-hari di mana kemanusiaan, empati, dan solidaritas sedang begitu ramai diperbincangkan.
Hari-hari ketika banyak orang berdebat ihwal kemanusiaan, namun seraya saling memaki, menghina, menghujat, dan membuncah sumpah serapah—tafsir lain yang menikam kemanusiaan itu sendiri.
Hari-hari di mana orang punya banyak definisi tentang kemanusiaan, namun sebagian di antaranya mengambil manfaat dari petaka kemanusiaan ini.
Hari-hari ketika banyak orang berharap simpati, namun banyak lainnya kehilangan empati karena berlumur rasa benci.
***
Tapi, saya tetap percaya, hari-hari ini, masih banyak orang baik yang mengerjakan sebanyak-banyak kebaikan. Saya bersaksi, masih ada, dan bertebaran Oskar-Oskar lain, di sini, juga di luar sana.
Saya membaca berita seorang pengusaha di Kalianda yang menjual mobilnya, lalu menggantinya dengan masker, alat penyemprot dan cairan disinfektan untuk masyarakat.
Di Bandar Lampung, banyak aktivis menghimpun donasi lalu membuat masker yang dibagikan kepada orang-orang yang terpaksa masih bekerja di luar rumah.
Ada pengusaha konveksi yang membuat kaus dan topi, menjualnya, lalu mendonasikan semua keuntungan untuk warga terdampak krisis Covid 19.
Di televisi, saya menemukan seorang anak muda yang merelakan kamar-kamar hotelnya dipakai gratis untuk menginap tenaga-tenaga medis yang tidak bisa pulang ke rumah atau tempat kos karena ditolak tetangganya.
Saya melihat politikus-politikus turun ke jalan, masuk-kampung-kampung, mengerjakan kebaikan yang sama.
Saya mendengar, di Jakarta banyak orang kaya yang menyumbangkan uangnya hingga miliaran rupiah untuk pengadaan APD, logistik, dan keperluan lainnya.
Di banyak tempat, ada orang-orang yang menaruh mi instan, beras, minyak goreng, susu di depan rumahnya untuk diambil siapa saja yang membutuhkan. Mereka memberi begitu saja, tanpa tahu dan mengenal siapa yang mengambil, tanpa dokumentasi apa pun meski sekadar untuk kenang-kenangan.
Tadi malam, penyanyi Didi Kempot menggelar konser amal dari rumah. Disiarkan live di Kompas TV, konser Godfather of Broken Heart itu berhasil mengumpulkan donasi hingga lebih lima miliar rupiah.
Begitu banyak yang menyumbang. Banyak dari mereka bukan orang kaya. Ada yang menyumbang lima ribu, sepuluh-dua puluh ribu.
Mereka pun sejatinya sedang susah, tidak punya banyak uang, bahkan kehilangan pekerjaan akibat pagebluk ini. Namun, perginya mata pencaharian tak membuat mereka melepas rasa kemanusiaan. Kesulitan hidup bukan alasan membunuh empati dan cinta kasih.
Saya meyakini, laksana virus, kebaikan pun menular. Hari-hari ini, di tengah banyak kegundahan, kita harus setia merawat harapan dengan mengerjakan dan menularkan kebaikan demi kebaikan.
Penularan kebaikan adalah salah satu ikhtiar terbaik untuk melawan dampak buruk wabah ini.
Kita sedang berperang dan perang ini harus kita menangkan. Bulatkan tekad, bersatulah dalam barisan kebaikan. Kerjakan kebaikan, semampu yang kita bisa. Tak ada kebaikan yang kecil. Kebaikan tetap bernilai kebaikan, apa pun itu.
Selebihnya, langitkan doa. Berserah kepada Tuhan. Semoga ketika perang ini usai kita menjadi pemenang berkat digjayanya kebaikan, hebatnya solidaritas, dan mulianya kemanusiaan. []
(Bandar Lampung, 12 April 2020)