Berita Bandar Lampung, Jejamo.com – Pembaca yang budiman, sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan ZS selama beberapa hari berada di Belanda bersama dua penyair lainnya: Juperta Panji Utama dan Arman AZ. Jejamo.com menurunkan tulisan esai Paus Sastra Lampung ini secara berseri. Selamat menikmati.
Istriku, sudah 5 hari aku di negeri “Londo” ini dan tak sedetik pun terkena putus arus listrik. Aku pun tak lagi kesal dan mengutuki PLN dan ini bisa membantu kondisi emosi; aku bisa gemuk–kata kawan di Lampung.
Aku tentu tak begitu yakin, faktor emosi bisa memengaruhi perkembangan tubuh. Tapi, apakah benar PLN masih hobi byarpet? Kalau masih, mestinya dikutuk saja dan doakan agar para petingginya dipecat karena tak mampu menyelesaikan masalah.
Di Belanda ini aku belum bertemu tenaga kerja Indonesia (TKI) sebagai buruh bangunan ataupun kerusakan jalan. Di Rotterdam dan Amsterdam aku menyaksikan perbaikan jalan dan pembuaran lin (jalur) transportasi dalam kota. Seluruh pekerjanya warga pribumi.
Jika semasa penjajahan, Belanda hanya memerintah jajahannya membut jalan baik kereta maupun kendaraan lain, kini dikerjakan sendiri. Tampaknya mereka tak membutuhkan impor buruh. Memanfaatkan bangsa sendiri, jauh lebih berdayaguna: meminimalkan membanjirnya anak-anak bangsa mencari pekerjaan di luar negeri.
Tidak seperti di Tanah Air, betapa banyaknya warga berduyun-duyum mengadu nasib di luar negeri. Sebetulnya itu bisa dijadikan bukti bahwa negara tak menjamin keberlangsungan hidup warganya.
*
Aku ingin bercerita, lagi-lagi soal merawat dan menjaga nilai-nilai kesejarahan masa lalu di negeri kita yang dilakukan penulis Belanda.
Sebuah buku yang membicarakan soal kolonial dan Indonesia diluncurkan di Rijks Museum, Selasa malam, 10/11/2015 malam. Sayang tak ada diskusi.
Peluncuran buku ini membuktikan kalau Belanda sangat menghargai sejarah. Acara ini dihadiri banyak mahasiswa Indonesia. Berbeda sangat di Indonesia. Penulisan ulang suatu peristiwa atau sejarah, harus disesuaikan kepentingan seseorang atau penguasa. Misalnya, saat Orde Baru berkuasa, peristiwa G-30-S/PKI sepertinya harus menurut apa yang dikatakan “saksi sejarah” bernama Soeharto.
Maka itu sejumlah orang berulang menuntut pemerintah yang berkuasa saat ini untuk meminta maaf pada korban dan keluarga korban 1965. Sampai-sampai tema ini diangkat di Frankfurt Book Festival 2015. Selain itu mulai Selasa, 10/11/2015 hingga Jumat, 13/11/2015 di Den Haag digelar pengadilan HAM 1965. Sungguh, munculnya gerakan seperti ini karena ketakpercayaan pada pemerintah. Boleh jadi pendapatku ini salah.
*
Di Amsterdam pagi ini, Rabu, 11/11/2015 pukul 07.28 awan mendung. Suhu hanya 13 derajat celcius. Mayoritas para turis di hostel Plying Pig masih tidur. Aku bangun pagi sebab ada kewajiban yang mesti kulumasi. Selain ingin bercakap denganmu di sini.
Aku rindu padamu, istriku, maka kutulis segala yang bisa kucatat. Hari ini aku kembali ke Rotterdam. Ke rumah sahabat warga Indonesia yang sudah bekerka dan menetap 15 tahun di Belanda.
Rumah Asjone Martin Sikumbang kerap dikunjungi warga Indonesia. Sebuah apartemen di Karel Dormaanstraat seakan menjadi dermaga singgah. Bahkan, konon pernah menjadi “tempat penampungan sementara” warga Indonesia yang bermasalah.
Ajo, panggilan akrab Asjone, seperti “juru penyelamatan” sementara orang Indonesia di Belanda (hehehe), apalagi yang “bermasalah” sepertiku.
Dari Ajo, lumayan banyak aku mendapatkan informasi soal Belanda, yang suatu saat kelak akan berguna. Suatu malam kami diajak menelisik Kota Rotterdam, bahkan pula memasuki kasino.
Dia berujar, jika haus cukuplah kau masuk ke kasino. Minuman, mineral, teh maupun kopi disediakan gratis. Cukup berpura-pura penjudi, petugas di depan kasino menyilakan masuk. Setelah itu kami menonton life jazz.
Meski negara tak membolehkan peredaran narkoba, sejumlah cafeshop menjamur juga. Konon di tempat itu perdagangan ganja seolah dilegalkan, selain minuman keras. Para pemakai langsung menggunakan barang haram bagi Indonesia di dalam kedai ganja itu–istilah kedai dariku.
Larangan pencandu daun kering asal Aceh itu sesungguhnya ketat, cerita Ajo, mereka bisa ditangkap dan didenda jika menggunakannya di jalan atau tempat umum. Maka setengah legal di kedai-kedai itu. Meskipun aku sempat merasakan aroma ganja dari seorang warga di jalan dengan melangkah sempoyongan.
Artinya polisi di Belanda tak begitu aktif, tak seperti aku lihat di Tanah Air yang cenderung malah lebay. Lha Pol PP saja sudah bergaya polisi kerjaannya, merazia rumah kos. Bukankah itu tugas Polri?
Ini hari terakhir di Amsterdam. Siang nanti aku ke Rotterdam, selanjutnya ke Leiden. Karena acara baca puisiku dan Juperta Panji Utama pada Jumat 13/11/2015 malam waktu setempat.
Sementara Arman Az melanjutkan tugas penelitian tentang khazanah budaya Lampung di Perpustakaan dan Museum Leiden. Menurut Arman yang telah meneliti dan membawa kopi naskah kamus bahasa Lampung yang ditulis H.N. Van der Tuuk ini, Leiden banyak menyimpan manuskrip dan kekayaan budaya Lampung semasa kolonial yang memang sengaja diangkut Belanda.
Sedang di Amsterdam tak banyak ditemukan ihwal Lampung, kecuali Jalan Lampung (Lampongstraat). Itu sebabnya ia berencana menyerahkan gamolan pekhing persembahan Sultan Sekala Brak Dipertuan ke 23 Pun Edward Syah Pernong kepada Rijks Museum Amaterdam guna disimpan dan dipajang.
Bisa kau bayangkan, seratus atau berabad-abad kemudian, gamolan pekhing akan selalu dilihat pengunjung global. Jangan hanya dikenal masyarakat Lampung dan tak dirawat pemerintah. Coba ke Museum Ruwa Jurai, semoga alat musik dari bambu itu sudah dipajang.
Istriku, aku akan bermalam beberapa hari di Leiden. Tenang saja, kami di sini dalam keadaan sehat dan semoga selalu tanpa masalah.
Kalaupun ada waswas, ya soal isi saku yang terus terkuras. Soalnya harga di sini beberapa kali lipat dibanding di Tanah Air. Semalam, contohnya, kami menemukan rumah makan masakan Indonesia, Kartika. Aku rindu sekali.
Mau tahu berapa harga nasi dengan lauk ayam, rendang, telur dan sayur-sayuran? Tiga belas setengah euro. Sedangkan harga mineral (Aqua di tanah air) dihargai 2 Euro. Ingin ke toilet dikenakan 2 Euro. Jadi, hidup di sini mahal bahkan lebih mahal daripada Singapura. Jangan heran, jika kami pulang dalam keadaan kosong sakunya.
Semoga saja akal, hati, imajinasi maupun sensepoetica kami justru melimpah.
Tetapi, apakah puisi masih dibaca dan perlu, istriku?
Jejamo.com, Portal Berita Lampung Terbaru Terpercaya