Berita Bandar Lampung, Jejamo.com – Pembaca yang budiman, sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan ZS selama beberapa hari berada di Belanda bersama dua penyair lainnya: Juperta Panji Utama dan Arman AZ. Jejamo.com menurunkan tulisan esai Paus Sastra Lampung ini secara berseri. Selamat menikmati.
Di layar telepon cerdasku mengabarkan suhu udara Amsterdam 15 derajat celsius dengan awan mendung.
Usai Museum Van Gogh aku naik tram menuju Central Station. Aku akan mengabatkan padamu, masih soal penghargaan negara pada karya seni. Di sini ada gedung opera dan balet, Nederland Film Academy, dan lain-lain.
Jangan lupa pula, istriku, aku pernah mengabarkan Museum Seks. Benar-benar aneh bagi telinga orang Melayu yang menjunjung norma agana dan peradaban Timur.
*
Hari ini, istriku, perjalanan mungkin lebih 5 kilometer. Tak menaiki tram ataupun bus kota. Untungnya cuaca dingin dan sedikit hujan, jadi tak berkeringat. Barangkali akan lain jika aku jalan kaki di Lampung, banjir peluh hingga tak tertampung.
Aku memasuki Troopeen Museum yang berada di pertigaan jalan besar di Amsterdam. Lagi-lagi museum ini dikunjungi banyak warga, padahal saat ini waktu sudah menunjukkan 15.36 petang.
Di luar museum gerimis belum reda. Aku sempat berteduh di pinggir toko ketika hujan luruh lumayan lebat. Pada saat berteduh, kami berbincang soal puisi yang ditulis di dinding Facebook. Siapa nama penulisnya, taklah begitu penting disebut.
Penulis puisi itu merasa tergoda oleh banyaknya lahir penyair. Terhipnotis “rayuan” bermunculan puisi ditulis para penyair hingga mengantar terbang ke negara lain. Mungkin, di benaknya, puisi dapat menembus sekat kenegaraan.
Sementara, kata Juperta Panji Utama, jangan menulis puisi di musim dingin sebab akan membekukan jemari.
Tetapi, Panji, puisi tidak akan pernah beku. Apatah lagi mati dirajam musim. Puisi akan mengekal dan dibaca sepanjang masa. Cuma jangan mencintai penyair, jika penulis puisinya adalah perempuan, ia akan mati sebelum lahir banyak puisi.
Penyair perempuan (atau lelaki) sebaiknya memilih cerpenis lelaki, gurauku, jika ingin usia kepenyairanmu menjadi lebih lama. Ah, ini hanya percakapan dungu saja untuk menghapus jemu dihadang hujan.
Istriku, yang menarik dari perjalanan ini, kami menemukan Lampongstraat (Jalan Lampung) di antara nama-nama jalan yang diambil dari khazanah pulau atau suku/provinsi di tanah air. Seperti Madurastraat, Djambistraat, Borneostraat, dan sebagainya.
Kawasan di jalan-jalan.yang menggunakan khazanah Indonesia itu, begitu sepi. Sepertinya daerah apartemen, atau entahlah.
Suasana sunyi itu membuat kami betah. Tenang. Kendaraan sepeda terparkir bernbaris di depan rumah sepanjang jalan Lampung, selain mobil.
Jangan tanya apakah penghuninya orang Lampung atau warga Belanda maupun penduduk berkewarganegaraan Nederland. Aku tak akan bisa menjawab pasti benar.
Demikian pula kalau kau tanya alasan apa pemerintah Belanda memberi nama-nama jalan di Amsterdam itu dari kosakata suku atau daerah di Indonesia. Boleh jadi, sekadar menerka, orang Belanda sangat mencintai sejarah. Mereka amat tergantung pada kejayaan masa silam, yakni sebagai kolonial alias negara penjajah.
Kendati di tengah Kota Rotterdam bisa kita buktikan bahwa bangsa ini pernah diporakporanda pada Perang Dunia II. Di jalan ada tanda bekas bom, dam kini diabadikan demgan lampu yang tiap malam hidup berwarna merah. Apakah merah itu perlambang darah atau simbol lain, entah pula.
Menurut cerita kawan dari Indonesia yang telah menetap 15 tahun lebih di Rotterdam, Asjone Martin Sikumbang, sebagian kota itu–kini kawasan Central Plaza, Holand Casino di Karel Doormanstraat—luluh lantak oleh hantam bom amat dahsyat. Setiap tahun, konon diperingati, lampu-lampu di jalan itu menyala dan menembak ke langit.
Kebenaran soal lampu di aspal jalan karena sebagai peringatan PD II, kawanku itu tak berani memastikan.
*
Ah, waktu di Amsterdam jelang malam. Berbeda di tanah air, tentu sudah larut. Dan, kau istriku, sekarang kupastikan sudan terlelap sambil memeluk anak kita, Dzafira Adeliaputri Isbedy.
Maka kusudahi cerita ini, esok kuteruskan dengan kisah lain dari negeri yang kini bermusim dingin.
Kau mau? Kau suka?
Jejamo.com, Portal Berita Lampung Terbaru Terpercaya