Jejamo.com, Bandar Lampung – Ketika awal tahun yang penuh harapan, ribuan saudara kita nun jauh disana, tepatnya Bumi Syam mengalami gempuran dari zionis. Hak sebagai manusia seutuhnya terbelenggu dengan berbagai tekanan dan blokade.
Melewati triwulan pertama 2018, ditanah kelahiranku, Lampung, musibah banjir membuat tim relawan bergegas mengumpulkan logistik dan menembus langsung beberapa titik banjir di Lampung Tengah, Lampung Selatan dan Lampung Timur.
Tak cukup sampai di situ, akhir Juli gempa meluluh-lantakkan Lombok. Masih di Indonesia, ribuan infrastruktur hancur. Saudara kita terpaksa bertahan di posko pengungsian dengan berbagai keterbatasan.
Belum usai, gempa, tsunami dan likuifaksi menerjang kawasan pantai Talise Kota Palu dan beberapa lokasi di Palu, Sigi dan Donggala.
Tugas kemanusiaan diemban tanpa sempat berkata tidak. Bersama lima jurnalis asal Lampung, kami terbang ke Kota Palu untuk melihat langsung dampak bencana.
Bercengkerama dengan penyintas gempa di beberapa posko membuat perasaan ini luluh lantak seperti saat mereka berkisah.
“Temanku dimakan tanah, orang tuaku ada dibawah sana, bumi seperti diketok dari bawah, diputer kayak blender, masih banyak yang tertimbun dibawah bangunan itu,” kisah salah satu penyintas gempa.
Iya, menutup tahun, kembali di Bumi Ruwa Jurai di Kelumbayan Tanggamus banjir bandang menghilangkan sedikitnya 22 rumah dan merusak puluhan rumah lainya.
Tak cukup sampai di situ, Sabtu malam (22/12) sepanjang pantai Kalianda-Rajabasa Lampung Selatan tersapu tsunami dari imbas erupsi Gunung Anak Krakatau.
Seluruh tim berjibaku menyediakan pelayanan terbaik untuk penyintas tsunami, saat ini sudah berdiri 15 posko kemanusiaan, dapur umum dan pelayanan kesehatan.
Alhamdulillah langkah ini terus bermanfaat untuk masyarakat Lampung, Indonesia dan dunia. [Hermawan Wahyu Saputra]