Jejamo.com, Bandar Lampung – Suara sapa lirih terdengar dari balik gerobak dagangannya. Saya melihat ke arah gerobak dan melihat seorang bapak duduk. Dengan baju cokelat lengan panjang, capil yang bertengger di kepalanya, lengkap dengan sepatu hitam kusam yang ia kenakan. Ia menawarkan dengan nada lembut .
“Bros, Dek, Rp5.000 saja,” kata dia.
Saya pun terhenti dan mulai sedikit melihat-lihat. Di atas gerobak merah yang ia desain sendiri terlihat tak hanya bros. Masih banyak aksesori lainnya.Tertulis juga harga yang sedikit miring di label aksesori yang ia jajakan.
Saya melihatnya duduk dan membiarkannya tetap seperti itu. Pada saat pilihan saya terjatuh pada satu bros berbentuk bunga, saya menyodorkan Rp5.000. Seketika ia bangun dari duduknya dan mengambil plastik yang ia selipkan di antara dagangannya. Memasukkan bros pilihan saya dan menukarnya dengan uang yang hendak saya berikan. Terlihat begitu bungkuk dan tertatih saat saya melihatnya hendak duduk kembali.
Setelah transaksi berakhir, saya hendak meneruskan perjalanan pulang. Namun, terdengar suara azan asar berkumandang. Saya memutuskan beristirahat sejenak sambil menunggu azan selesai. Saya berdiri di antara gerobak sambil berkipas. Lalu suara lirih terdengar lagi dengan sedikit senyuman, ia mempersilakan saya untuk duduk di sampingnya.
Saya mencoba memecahkan keheningan dengan sedikit bertanya. Suasana panas terik sore itu menjadi saksi percakapan kami. Di bawah pohon mangga yang begitu rindang dan hembusan angin yang membelai, tampak lebih nyaman daripada gedung-gedung mewah itu, yang lengkap dengan tunggangan nya berada tepat di samping kami.
Pertanyaan pertama saya adalah di mana ia tinggal. Ia menjawab dengan sedikit mengira-ngira. Lima kilometer lagi dari titik kami beristirahat hingga ke tempat tinggalnya. Saya sedikit terkaget tapi ia hanya membalasnya dengan senyuman. Jika dilalui dengan tunggangan canggih masa kini ini mungkin cukup dekat. Kami banyak bercanda sampai pada akhirnya ia mulai bercerita.
Ia adalah perantauan. Asli kelahiran Bantul, Yogyakarta. Ia pertama kali merantau pada 1950 di daerah Pagaralam, Sumatra Selatan. Pada 1980 Ia bertemu seorang gadis dan menjadikannya istri. Mereka kemudian pindah dan menetap di Lampung. Ia memiliki 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan.
Ia beserta istri mencoba berwirausaha dengan berjualan makanan ringan. Sang istri membuat lalu ia yang menitipkannya ke warung-warung atau menjualnya berkeliling. Tahun demi tahun berlalu hingga tak sadar bahwa ketiga anaknya berkeluarga dan pergi meninggalkan rumah.
Lima tahun mereka menekuni usaha itu. Sampai pada 2006, sang istri pergi menghadap Illahi. Ia mencoba menjalankan usahanya sendirian, tapi tenaga yang ia milki tak sehebat dulu. Ia ingin mencoba beralih ke usaha lain, namun apa daya tabungan yang ia kumpulkan saat bersama sang istri saat masih hidup, habis membiayai segala keperluan. Seseorang kemudian memberikannya modal usaha.
Ia terlihat semangat kembali untuk menjalani hidupnya. Sejak dua tahun lalu ia menekuni usaha jual aksesori dengan berkeliling. Sebelum ia menggunakan gerobak, saya sering melihatnya berjualan menggunakan sepeda. Khawatir dagangan dan dirinya jatuh, ia beralih ke gerobak.
Butuh biaya yang tak sedikit untuk membeli dan merakit gerobak menjadi seperti sekarang. Namun ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari penghasilannya. Per bulan ia bisa mendapatkan uang Rp200 ribu-Rp500 ribu. Ia juga sering sekali mangkal di berbagai tempat,tapi paling ramai di belakang IAIN Raden Intan.
Seorang penjual aksesori lain mengatakan, ia sering terusir karena tunggakan yang belum bisa ia lunasi. Di Jalan Pulau Singkep, Sukarame, Bandar Lampung, inilah kenangan terakhir nya bersama anak-anak dan istrinya. Kini ia tinggal di Jalan Pulau Karimunjawa, Gang Jadi. Di situlah ia memulai kehidupannya sendirian.
Akan tetapi, 10 tahun sendirian tak membuat nya malas atau hanya mengandalkan anak cucunya. Meski memiliki 13 cucu dan 5 cicit, ia tetap tinggal sendirian. Di bawah atap bedeng yang jauh dari kata nyaman itu ia tinggal. Tawaran sewanya yang begitu murah membuatnya terpaksa untuk memilihnya. Sekadar agar ia tak bingung pulang kemana.
Ruangan yang terbagi menjadi 3 bagian ini pun sudah memiliki fungsi masing-masing. Satu ruang tamu yang bergelarkan selembar tikar, kamar kecil dengan kasur yang begitu tipis, serta dapur yang hanya dihiasi rice cooker mini dan sedikit peralatan dapur lain.
Dari kamar tersebut ia mengawali harinya. Ia biasa berangkat berkeliling pada pukul 09.00 WIB, tapi terkadang bisa lebih pagi dari itu. Tergantung ia selesai memasak dan berbenah.
Ia adalah Kusran, kakek berusia 80 tahun. Ia tetap menjalani hidup tanpa keputusasaan. Ia yang tak mau bergantung kepada anak-anak dan orang lain.
Ia berusaha keras agar tetap bisa menikmati hidup. Dengan tegas ia menjelaskan, bukan berarti anak-anak serta cucu dan cicitnya tak peduli. Tapi ia merelakan masa tuanya demi melihat kebahagiaan keluarga anak-anaknya.(*)
Laporan Nurul Istiqomah, Kontributor Jejamo.com