Jejamo.com, Lampung Timur – Perkembangan harga tanah di pinggir pantai Labuhanmaringgai melesat tinggi, dari Rp100 juta per hektar saat ini bisa menembus harga Rp500 juta per hektar atau naik 500 persen.
Kenaikan harga tanah dikarenakan berkembangnya usaha budi daya udang vaname.
Seperti yang disampaikan pengusaha udang vaname, Marsan warga Desa Sriminosari, Kecamatan Labuhanmaringgai, Lampung Timur. Selasa (18/12/2018).
Kata Marsan, sekitar tahun 2012 silam harga tanah di perbatasan pantai hanya Rp100 juta per hektar, namun saat ini harga tembus Rp500 juta per hektar.
Kenaikan harga tanah yang mencapai 500 persen disebabkan dengan merebaknya usaha udang vaname. Bahkan saat ini di Kecamatan Labuhanmaringgai tidak kurang dari 400 bidang tambak udang vaname.
“Tahun 2012 belum banyak yang melakoni usaha vaname sehingga banyak lahan terbengkalai tidak terurus dan dijual murah oleh pemiliknya,” kata Marsan.
Marsan mengakui untuk melakoni budidaya udang memerlukan modal tidak sedikit, dalam satu hektar harus mengeluarkan modal Rp500 juta.
Namun, keuntungan maksimal bisa tembus Rp500 juta, keuntungan terendah Rp150 juta per hektar dan bahkan bisa sama sekali tidak untung atau merugi.
“Kuncinya tlaten, jika telaten maka tidak akan rugi. Telaten dalam arti perawatan benar benar teliti dari pemberian pakan, pengaturan kondisi air,” ujar Marsan.
Terkait dengan waktu penggarapan dalam satu tahun bisa melakukan dua kali budi daya udang vaname untuk satu lahan.
“Usaha vaname di Lampung Timur benar-benar menjanjikan dan terbukti banyak warga Labuhanmaringgai yang ekonominya terangkat dari budidaya ikan vaname,” terang Marsan.
Sementara pengusaha tambak dari Desa Margasari, Kecamatan Labuhanmaringgai Nyoto Suswoyo mengaku berterima kasih dengan Pemerintah Kabupaten Lampung Timur yang telah memperjuangkan fasilitas peralatan penerangan listrik hingga masuk ke lokasi tambak. Misalnya tiang dan gardu induk.
Dengan berdirinya gardu induk litrik di lokasi tambak, pengusaha tambak tidak khawatir lagi dengan penerangan dan kincir air.
“Sebelumnya kami menggunakan mein diesel untuk penerangan dan menggerakkan kincir, sehingga tenaganya tidak maksimal seperti tenaga litrik,” kata Nyoto. [Agus Susanto]